REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Bila Anda sedang berkunjung ke Mesir, mampirlah ke Kafe Costa (Costa Coffee) yang berada di sejumlah kawasan elite Kairo. Seperti kawasan Abidin, Madinah October, Zamalik, Dokki, Maadi, Al Agouzah, Nasr City, Maidan Sholahuddin, Muhandisin, Maidan Tahrir, dan seterusnya.
Di antara puluhan cabang Kafe Costa tersebut ada beberapa yang sangat populer bagi kalangan elite Mesir sekarang ini. Antara lain, Kafe Costa di dekat Istana Kepresidenan Al Ittihadiyah di Nasr City. Atau, yang berada di Maidan Tahrir, berseberangan dengan American University di Jalan Mohammad Mahmud. Di kedua kafe itulah para elite sering kongkow. Mereka adalah kaum politikus, baik dari partai pemerintah maupun oposan.
Lalu para birokrat, profesional, akademisi, para pengusaha, wartawan senior, LSM, dan sebagainya. Juga ekspatriat. Ketika Husni Mubarak masih berjaya, kafe dengan nama dan aroma Amerika ini merupakan simbol kesuksesan para penguasa. Atau, para pengusaha sukses lantaran dekat dengan kekuasaan. Penampilan mereka modis.
Mengenakan pakaian dan aksesoris bermerek serta menebarkan aroma harum. Di antara mereka ada yang berjenggot ketika memelihara rambut di janggut menjadi tren mengglobal bagi anak-anak muda. Jenggot itu jelas hanya aksesori agar penampilan mereka lebih macho.
Kini, setelah dua tahun revolusi rakyat berhasil menggulingkan kekuasaan rezim Mubarak, dan partai Islam berkuasa, Kafe Costa tetap tidak berubah. Para pengunjung kafe--dengan menu utama kopi, sandwich, pizza, dan makanan khas Amerika lainnya--tetap ramai, terutama pada sore dan malam hari.
Kalaupun ada yang berubah adalah aroma harum kafe, atau tepatnya aroma parfum para pengunjungnya. Lebih tajam dan menyengat, mirip parfum Hajar Aswad. Aroma yang menunjukkan perubahan kalangan pengunjung Kafe Costa. Orang-orang dari rezim Husni Mubarak dalam beberapa bulan kemenangan revolusi rakyat tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi.
Anak-anak muda yang tergabung dalam Partai Demokrasi Nasional (National Democratic Party/NDP), partai Mubarak, tidak lagi menampakkan batang hidungnya di sejumlah cabang Kafe Costa. Kursi-kursi mereka kini diduduki kalangan lain. Sebagian mereka juga berjenggot dan berkumis, dan bahkan lebih lebat. Tapi, kali ini rambut yang tumbuh di janggut dan di atas bibir itu tidak sekadar aksesori mengikuti tren, tapi sudah ideologis. Yakni, konon, mengikuti sunah Rasulullah.
Mereka berasal dari partai-partai Islam yang menang pemilu dan kini sedang berkuasa, yaitu Partai Kebebasan dan Keadilan (sayap politik Ikhwanul Muslimin), Partai An Nur yang didirikan kaum salafi, dan partai-partai Islam lainnya. Karena itulah, minuman wine dan minuman keras yang memang dilarang agama tidak lagi tercantum dalam daftar menu.
Pendek kata, menu Kafe Costa kini halalan thoyyiban. Menurut investigasi harian al Sharq al Awsat edisi Januari lalu, kekuasaan atau takhta yang dekat dengan harta memang telah mengubah perilaku dan gaya hidup para politikus. Tidak terkecuali kaum salafi dan politikus Muslim yang sedang berkuasa di Mesir.
Kalau sebelumnya rapat-rapat dilaksanakan di masjid, kampus, atau tempat-tempat yang lebih sederhana, setelah berkuasa pertemuan diselenggarakan di hotel atau kafe. Selain itu, kongkow di kafe atau hotel juga dianggap dapat mengubah citra bahwa mereka juga bisa bergaya hidup modern yang disimbolkan dengan Kafe Costa tadi.
Namun, bukan berarti pengunjung Kafe Costa hanya sebatas mereka yang berafiliasi dengan partai berkuasa. Orang-orang, terutama anak-anak muda, dari kalangan profesional, akademisi, pengusaha, jurnalis, dan lainnya yang tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun tetap rajin mengunjungi 'kafe Amerika' itu. Juga ada pengunjung dari kalangan rezim Husni Mubarak yang kini telah berganti baju.
Orang-orang anti-Mubarak menyebut mereka sebagai "fulul", yaitu orang-orang rezim Mubarak yang setelah revolusi mencoba untuk bisa berkuasa kembali. Kalangan fulul ini tokoh-tokohnya, antara lain, Ahmad Syafiq dan Amr Musa. Syafiq merupakan perdana menteri terakhir rezim Mubarak. Sedangkan, Amr Musa adalah menteri luar negeri di era presiden yang sama. Keduanya kalah dalam pemilu presiden melawan Mohammad Mursi. Mereka berdua kemudian bergabung dengan kalangan liberal-sekuler dan Nasirisme (pengikut mantan presiden Jamal Abdul Nasir) dalam sebuah kekuatan bernama Front Penyelamat Nasional. Yang terakhir ini kini menjadi kekuatan utama penentang kekuasaan Presiden Mursi yang didukung partai-partai Islam.
Namun, meskipun berbeda afiliasi politik, ternyata mereka dapat bersatu di Kafe Costa. Maka itu, kafe yang merupakan simbol Barat ini pun menjadi tempat berkumpul sejumlah orang-orang berjenggot. Ada yang berjenggot karena ideologis dan ada yang sekadar aksesori. Kedua kelompok sambil mendengarkan musik klasik dan menikmati hidangan lezat ala Amerika dapat berbagi kursi di Kafe Costa. Kursi yang berbeda kini juga dituntut oleh kelompok oposan yang tergabung dalam Front Penyelamat Nasional untuk dapat dibagi, yakni kursi kekuasaan. Sebuah tuntutan yang disampaikan tidak di Kafe Costa, tapi di jalanan dengan beberapa aksi unjuk rasa besar-besaran, yang terkadang diwarnai dengan kekerasan.
Sebuah perebutan kekuasaan yang korbannya selalu saja rakyat kebanyakan: rakyat pendukung dan penentang penguasa. Rakyat yang mudah digerakkan dan dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh oposan dan petualang politik. Rakyat kebanyakan yang lapar dan hanya bisa menyaksikan kaum elite menikmati sajian lezat di Kafe Costa. Perubahan gaya hidup politikus di Mesir kini bisa saja terjadi di bagian dunia mana pun. Termasuk di Indonesia.