REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif
Meski kita tak boleh kehilangan harapan, kita tak boleh lengah dengan pelbagai dekadensi yang melanda kehidupan bangsa dan negara: korupsi politik dan pembohongan publik, premanisme dan kerentanan keselamatan warga, narkoba dan keterancaman harapan bangsa, pencaplokan tanah dan kerusuhan di wilayah tambang dan perkebunan, kecelakaan transportasi dan kerawanan sarana publik.
Masalah yang mengimpit bangsa begitu banyak wajah melahirkan situasi ”anomali” (a-nomos, ketidakteraturan). Sedemikian rupa, sehingga semua teori sosiologi tentang masalah sosial akan memperoleh pembenarannya di sini. Masalah Indonesia bisa dijelaskan dari perspektif teori patologi sosial, teori disorganisasi sosial, teori konflik nilai, teori penyimpangan perilaku, teori sosial kritis yang berbasis ketimpangan sosial, maupun teori-teori konstruksionis dan pelabelan—seperti mengonstruksi dan melabeli korupsi sebagai budaya.
Untuk mengatasi krisis multidimensi tersebut, kita perlu kembali ke titik ”normal” (berlakunya norm). Dengan bantuan perspektif sosiologi dalam menjelaskan krisis sosial, prioritas terpenting dalam usaha pemulihan normalitas (keteraturan) itu adalah peran kepemimpinan dalam mengaktualisasikan kapasitas transformatif dari kekuasaan.
Meskipun kepemimpinan merupakan fitur permanen yang selalu diperlukan setiap masyarakat dan segala zaman, perlu dicatat tidak ada pemimpin yang cocok untuk segala musim. Seperti dikatakan Montesquieu dan Max Weber, kepemimpinan merupakan suatu fungsi yang dinamis yang beragam dalam watak, lingkup, dan kepentingannya, tergantung pada perkembangan masyarakat.
Konsekuensinya, kekuasaan dan lokus tindakan seorang pemimpin ditentukan watak personal dan kondisi yang berkembang di lingkungan politiknya. Masa krisis dan kekacauan jelas memerlukan peran kepemimpinan yang lebih besar sekaligus pemimpin besar (great men) dibanding pada masa normal dan stabil.
Masa seperti ini, menurut Weber, membuka kesempatan bagi munculnya pemimpin-pemimpin kharismatik dengan pesan pembebasan dan pemulihan tertib politik.
Pemimpin kharismatik dalam arti ini, bukan sekadar pemimpin berwibawa, tetapi pemimpin yang dengan kewibawaannya mampu mengompensasikan kelumpuhan hukum dan institusi sosial, sehingga tercipta kembali situasi normalitas. Namun, perkembangan antiteori terjadi di Indonesia.
Krisis terus memagut, tapi pemimpin-pemimpin kharismatik tak kunjung muncul, atau hanya sesaat muncul untuk kemudian ditelan arus zaman. Suasana seperti inilah yang sekarang diratapi sebagai krisis kepemimpinan. Hal itu terjadi karena rekrutmen kepemimpinan yang dikembangkan pada era reformasi ini lebih mengandalkan sumber daya “alokatif” ketimbang “otoritatif.”
Yang pertama berarti kemampuan kontrol atas fasilitas-fasilitas material, sedangkan yang kedua adalah kemampuan kontrol atas aktivitas manusia lain berdasarkan kewibawaan visi dan ideologis. Yang dipikirkan bukanlah kapasitas transformatif dari kekuasaan, melainkan daya beli dari para pemimpin. Akibatnya, partai politik gagal mereproduksi pemimpin yang dibutuhkan; sedangkan para pemimpin yang punya bibit-bibit kharismatik sebagai pemimpin organisasi masyarakat terpaksa mengikuti logika “alokatif”, yang begitu cepat menggerus kewibawaannya.
Jalan baru tak kunjung menemukan pemimpin baru. Pemimpin baru tak kunjung memperjuangkan jalan baru. Jalan buntu mengadang kita. Untuk menghindari kebuntuan, jalan menuju normalitas sosial menghendaki pemulihan normalitas demokrasi. Bahwa, kerakyatan (baca: demokrasi) harus dipimpin; tak boleh berkembang menjadi ajang pragmatisme “asal menang” dan “asal dapat uang” yang berkhidmat pada kepentingan perseorangan dan golongan.
Desain institusi demokrasi kita harus memungkinkan demokrasi dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, yang direngkuh lewat fusi antarhorizon dalam wahana permusyawaratan perwakilan. Kita harus memulai langkah perubahan dari titik “nol” (titik nomos, titik normal). Titik pemahaman awal bahwa kekuasaan bukanlah akhir perjalanan, melainkan sarana memperjuangkan kebajikan bersama (virtues).
Setiap pemimpin dalam segala bidang dan tingkatan harus menyadari dan belajar mengemban tugas pastoral, sebagai penggembala yang menuntun dan memperjuangkan keselamatan rakyatnya. Dan untuk itu, mereka harus berjiwa besar agar bisa lebih besar dari dirinya sendiri. Mengembalikan Indonesia ke titik “normalitas”, memerlukan kehadiran pemimpin transformatif.
Siapa saja yang ingin mengaktualisasikan kepemimpinan transformatif dituntut mengakhiri gerak sentripetal dari kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Seperti diingatkan Bung Karno, ”Seorang tidak akan dapat mempimpin massa rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka .... Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat.”