Senin 20 May 2013 07:00 WIB
Resonansi

Satu Keluarga Saudi dengan Empat Babu Indonesia

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Apa yang Anda bayangkan ketika sebuah keluarga di Arab Saudi mempunyai empat pembantu rumah tangga dari Indonesia? Mungkin ada yang mengatakan, “Bagus, berarti akan lebih banyak kesempatan untuk perempuan-perempuan Indonesia mencari nafkah di negeri petrodolar itu. Daripada menganggur dan susah mencari pekerjaan di negeri sendiri, lebih baik bekerja di negeri orang meskipun hanya sebagai pembantu rumah tangga.”

Ya, pertanyaan ini sengaja saya sampaikan terkait peraturan yang baru-baru ini dirilis oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tentang keberadaan para tenaga kerja asing yang bekerja di negera tersebut. Termasuk, mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga alias babu yang di Arab Saudi disebut al- 'ummalah al-manziliyah.

Sebagaimana diberitakan media Saudi Al Sharq Al Awsat edisi 11 Mei lalu, pemerintah setempat kini sedang menawarkan pemutihan dokumentasi para pekerja asing yang habis izin atau masa tinggalnya. Antara lain, para jamaah haji dan umrah yang sengaja tidak pulang ke negara asal. Mereka kemudian bekerja di negara setempat secara gelap alias tanpa izin resmi. Baik bekerja di perusahaan swasta ataupun sebagai pembantu rumah tangga di keluarga-keluarga Arab Saudi.

Mereka ini diperbolehkan atau diberi kesempatan hingga awal Juli tahun ini untuk memutihkan dokumentasinya melalui kantor imigrasi setempat, sehingga keberadaan mereka menjadi legal. Dengan begitu, mereka bisa bekerja secara resmi sebagai pembantu rumah tangga di keluarga-keluarga Saudi. Dengan syarat, satu keluarga Saudi tidak boleh menampung/mempunyai lebih dari empat pembantu rumah tangga. Sedangkan, untuk yang bekerja di sektor swasta ada persyaratan tambahan, yaitu perusahaan yang menerima mereka juga harus mendapatkan izin dari kantor tenaga kerja setempat.

Sebelumnya, Pemerintah Saudi telah mengumumkan agar para pekerja asing gelap alias tak mempunyai izin tinggal dan bekerja (ghoiru al-qonuniyah) untuk segera meninggalkan negara itu. Tapi, beberapa hari kemudian keputusan itu dianulir dengan memberi kesempatan kepada pendatang gelap untuk memutihkan dokumennya hingga awal Juli. Perubahan keputusan itu diambil selain karena pertimbangan kemanusiaan, juga lantaran Saudi masih membutuhkan banyak tenaga kerja asing.

Setelah tenggat waktu habis, mulai awal Juli Pemerintah akan melakukan razia ketat terhadap pendatang ilegal ini. Bagi pihak yang kedapatan melindungi dan mempekerjakan tenaga kerja ilegal, akan dikenakan sanksi penjara hingga dua tahun dan denda yang bisa mencapai 100 ribu real (sekitar Rp 260 juta). Sedangkan, bagi pekerja asing gelap akan dikenai sanksi penjara dan denda.

Namun, bagi pekerja gelap yang mau memutihkan dokumentasinya sebelum tenggat waktu akan dibebaskan dari sanksi ataupun denda dan hanya membayar pajak izin tinggal/bekerja (rusum). Sementara itu, bagi mereka yang meninggalkan Arab Saudi selama masa pemutihan akan dibebaskan dari semua denda, hukuman, maupun pajak atas pelanggaran yang telah mereka lakukan selama menjadi pendatang gelap.

Seorang pengamat tenaga kerja Arab Saudi Abdul Rahman al-Rasyid memperkirakan, jumlah penduduk Saudi telah mencapai angka 40 juta jiwa, separuh di antaranya warga asing dari berbagai negara. Sementara itu, menurut sensus resmi, jumlah penduduk Saudi berjumlah 27,1 juta jiwa. Tapi, kedua pihak sepakat mengenai jumlah warga asing ilegal, yakni sekitar enam sampai tujuh juta jiwa. Jumlah ini sudah termasuk tenaga kerja Indonesia yang tak mempunyai izin tinggal/kerja yang angkanya mencapai 100 ribu lebih. Sedangkan, jumlah keseluruhan TKI yang kini bermukim di Saudi, baik legal maupun ilegal diperkirakan lebih dari satu juta jiwa.

Mereka pada umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, kuli bangunan, sopir, pelayan restoran, toko, dan hotel, serta pekerjaan kasar lainnya. Dengan keputusan Pemerintah Arab Saudi itu, diharapkan mereka yang ilegal ini bisa segera memutihkan dokumentasinya, sehingga bisa bekerja dengan tenang.

Menurut Abdul Rahman al-Rasyid, program pemutihan dokumentasi itu menguntungkan banyak pihak, pemerintah, lembaga pencari pekerja (perusahaan maupun personal), dan pekerja asing sendiri. Dengan program ini, pemerintah bisa mempunyai data lengkap bagi setiap pekerja asing dan mudah mengontrol serta mengawasai mereka. Sedangkan, bagi lembaga pencari kerja, mereka tidak perlu bingung lagi mencari pekerja pengganti yang semula harus dipulangkan karena ilegal. Sementara itu, bagi para pekerja program tersebut tentu sangat menguntungkan mereka.

Bahkan, bagi keluarga-keluarga Saudi kelas menengah atas kini bisa mempunyai hingga empat pembantu rumah tangga secara legal. Terkait dengan yang terakhir ini, sebenarnya sudah sering terdengar bahwa banyak keluarga di negara Raja Abdullah bin Abdul Aziz itu yang mempunyai sejumlah pembantu dan sopir dari Indonesia dalam satu keluarga. Kabarnya, pembantu-pembantu dan sopir dari Indonesia sangat disukai orang-orang Saudi karena tidak banyak protes, penurut, dan taat beribadah. Bahkan, produk-produk mi instan dari Indonesia sekarang ini banyak disukai oleh warga Saudi berkat peran para pembantu itu. Istilahnya, para pembantu tesebut merupakan pengiklan gratis buat produk makanan Indonesia.

Hanya saja, kalaupun kita bicara dampak negatifnya, orang-orang Indonesia kini juga dikenal sebagai bangsa babu karena di rumah mereka sehari-hari selalu bertemu dengan para pembantu Indonesia. Karena itu, Anda jangan heran bila suatu saat berada di Saudi dilihat dengan mata sebelah oleh masyarakat di sana. Mereka mengira, profesi Anda tidak jauh dari yang namanya pembantu rumah tangga, sopir, pelayan toko, pekerja bangunan, dan pekerja kasar lainnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement