REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha
Sebuah diskusi berlangsung Jumat (28/3) ini. Temanya sangat merangsang: “Pemilu, Agama, dan Demokrasi di Indonesia; Mengapa Islam tak Menang?” Sebuah tema yang di Indonesia sendiri sudah tak didiskusikan lagi. Ya, diskusinya memang bukan di Jakarta atau di wilayah lain di Indonesia. Tapi nun jauh di balik bola dunia: Washington, Amerika Serikat. Jika kita melihat globe, maka posisi Indonesia dan Amerika Serikat memang berada di sisi saling berkebalikan.
Pembicaranya adalah Dr Kikue Hamayotsu. Perempuan ini adalah Associate Professor di Universitas Northern Illinois. Sedangkan penyelenggaranya adalah The United States-Indonesia Society (USINDO), sebuah asosiasi persahabatan Indonesia-Amerika Serikat. Asosiasi ini berdiri pada 1994 dan didirikan oleh Edward E Masters, mantan duta besar AS di Jakarta pada 1977-1981. Ia prihatin karena hampir sebagian besar orang Amerika hanya sedikit mengetahui tentang Indonesia. Tepat sepekan lalu, Jumat (21/3), beliau meninggal dunia.
Dalam pengantar undangannya, USINDO mencatat, berbeda dengan negara yang warganya mayoritas beragama Islam, di Indonesia justru partai-partai Islam mengalami kemunduran. Sedangkan di negara-negara lainnya organisasi politik yang berbasis Islam memperlihatkan kekuatan elektoralnya. Hamayotsu adalah seorang ahli dan peneliti di bidang agama dan politik di negara-negara mayoritas muslim di Asia Tenggara.
Di Washington hal itu menjadi bahan riset dan diskusi, namun di Indonesia relatif kurang diperhatikan. Secara kebetulan, kemarin saya menerima sebuah buku karangan Anis Matta, presiden Partai Keadilan Sejahtera. Inilah partai yang dinilai paling kental warna Islamnya. Buku berjudul Gelombang Ketiga Indonesia ini lebih tepat disebut manifesto seorang Anis tentang masa depan PKS dan Indonesia. Ia menilai sedang terjadi anomali. Di satu sisi masyarakat makin religius namun di sisi lain religiositas itu tak berkorelasi dengan pilihan politiknya. Karena itu Anis menyimpulkan pemilu 2009 merupakan titik berakhirnya politik aliran. Generasi baru telah lahir. Mereka tak terpaut dengan narasi dan konflik politik aliran.
Rupanya perenungan Anis menjadi semacam kesadaran bersama politisi Islam. Sekali lagi, secara kebetulan pula, kemarin Hatta Rajasa, ketua umum Partai Amanat Nasional bertandang ke Republika. Kami mendiskusikan banyak hal. Salah satunya ada pertanyaan dari wartawan Republika tentang relevansi politik aliran di zaman kini. Hatta menegaskan, pada akhirnya politik akan bergerak ke tengah. Hal ini juga terjadi di Eropa. Sejarah partai-partai di negara-negara Eropa adalah partai-partai berbasis agama. Nama-namanya pun masih menyebut sebagai partai Katolik atau partai Kristen. Pada sisi lain, Hatta mempertanyakan apakah partai Islam tidak nasionalis? Apakah partai nasionalis tak memperjuangkan aspirasi umat Islam? Menurutnya, hal yang lebih subtansial pada akhirnya adalah masalah how to improve the quality of life, bagaimana meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Nah, perbedaan antarpartai terletak pada tujuan dan jalan dalam mencapai kualitas hidup tersebut.
Jika benar bahwa politik aliran telah berakhir dan sedang tumbuh kesadaran bersama tentang kesatuan tema-tema universal, maka pertarungan politik sedang menuju pada wacana yang sama. Orang akan bicara tentang keadilan, kesejahteraan, pemerataan, penegakan hukum, kualitas sumberdaya manusia, maupun pemajuan ekonomi. Akan lahir partai-partai moderat dan progresif. Akan lahir partai-partai liberal dan konservatif. Akan lahir partai-partai yang pro kapitalis dan pro kerakyatan. Yang menarik adalah kombinasi kategori-kategori tersebut plus basis pendukung tradisional dan sejarah kepartaiannya. Partai-partai berasas Islam dan berbasis massa Islam akan menjauhi tema-tema perjuangan simbolik. Mereka akan memasuki isu-isu seputar harga-harga kebutuhan pokok, lapangan kerja, biaya pengobatan dan pendidikan, dan pemberantasan korupsi. Itulah tema-tema yang menjadi perhatian utama publik. Yang menarik, dua kandidat capres terkuat mengusung tema yang sama: nasionalisme ekonomi dan pemerataan.
Partai-partai Islam harus lebih giat belajar memasuki narasi baru dalam politik. Hal ini seiring dengan makin matangnya demokrasi Indonesia. Kita menyaksikan kampanye pemilu 2014 yang sedang berlangsung ini tak segempita pemilu-pemilu sebelumnya. Jika saja tak ada spanduk, poster, dan umbul-umbul partai maupun para caleg, mungkin kita tak akan merasa bahwa kita sedang masa kampanye pemilu. Tak ada lagi rasa tegang dan khawatir. Publik makin rasional dan makin cerdas. Namun seperti kata Hatta, sistem dan kondisi yang ada ternyata belum sepenuhnya melahirkan politisi berkualitas. Politisi yang baik akan sibuk bekerja mengurusi negara, lalu lupa 'menyantuni' konstituen. Sedangkan politisi yang tak bekerja dengan baik di parlemen tapi lebih sibuk 'berbagi kebaikan' di akar rumput justru yang akan terpilih. Terjadi politik transaksional. Itulah yang pernah diderita PAN pada pemilu lalu. Dalam konteks itulah figur populer, terutama artis, terpaksa dipasang.
Persoalan partai Islam bukan semata soal narasi, tapi juga masalah pendanaan. Mereka tak memiliki sumber dana yang kuat seperti partai-partai lainnya. Ini memang bukan tantangan yang mudah untuk dilewati. Perlu lompatan eksponensial dalam proses politik di Indonesia. Ini bukan hanya menyangkut partai Islam tapi semua partai. Dengan gencarnya pemberantasan korupsi, para politisi mengalami tekanan psikologis yang tak ringan. Perlu ada solusi bersama dalam masalah pendanaan politik, baik masalah sumber dananya maupun besaran belanja kampanyenya. Dengan demikian, mereka bermain di level yang sama. Mereka akan lebih fokus pada visi, program, dan karakter serta integritas masing-masing.
Perjuangan politik pada akhirnya memenangkan suatu narasi. Namun saat kita menyuarakan narasi tertentu, pihak lain menghadirkan realitas yang merontokkan narasi tersebut. Perjuangan politik ibarat bermain catur. Siapa yang bisa berpikir sekian langkah ke depan adalah yang akan memenangkan pertarungan.