REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Kopenhagen, Denmark, masih sangat dingin di akhir Maret; pepohonan masih meranggas menunggu musim semi. Saya kembali lagi ke kota ini. Dalam beberapa kali kunjungan ke kota ini, salah satu yang paling saya ingat adalah ketika diundang Kementerian Luarnegeri Denmark menjelang akhir 2005. Dalam kesempatan itu saya diminta memberikan saran tentang bagaimana seharusnya pemerintah Denmark menyikapi reaksi keras kaum Muslimin terhadap kartun ‘Nabi Muhammad’ yang diterbitkan koran Jyllands-Posten, 30 September 2005.
Kembali ke Kopenhagen pada akhir Maret lalu dalam serangkaian acara yang diselenggarakan KBRI, Universitas Kopenhagen dan Nordic Institute for Asian Studies (NIAS), saya menemukan lingkungan yang jauh lebih kalem. Tidak terasa lagi sisa kehebohan dan kemarahan karena soal kartun. Bahkan tidak ada sama sekali pembicaraan tentang kejadian yang disebut pemerintah Denmark sendiri sebagai blunder diplomatik dan politik pada tingkat internasional bagi negara dan arus utama masyarakat Denmark.
Sebaliknya, pasca-kontroversi kartun, Islam terlihat lebih jelas dalam masyarakat Denmark yang disebut survei termasuk sebagai orang-orang paling bahagia di dunia. Saya melihat wanita dan mahasiswi Muslimah lalu lalang di trotoar atau kampus Universitas Kopenhagen mengenakan jilbab. Saya bertanya kepada beberapa mahasiswi apakah mereka pernah mengalami harassment (pelecehan) karena memakai jilbab; jawabannya ‘tidak pernah’.
Islam kini ‘hanya’ menjadi agama kedua terbesar; menurut Kementerian Luar Negeri AS jumlah penganutnya sekitar 3,7 persen (menurut BBC 4,8 persen) dari total penduduk Denmark 5.6 juta jiwa. Islam disebut sebagai agama yang berkembang paling cepat dengan kaum Muslimin sebagai kaum minoritas keagamaan terbesar yang mencakup sekitar 21 komunitas aliran dan mazhab.
Menurut sejumlah estimasi, antara tahun 2000 sampai 2004 sekitar 300 warga Denmark pindah agama dari Islam ke Kristen, sementara sekitar 2.800 orang Denmark asli konversi ke Islam. Menurut Imam Abdul Wahid Pedersen dari Dewan Muslim Denmark, setiap tahun sekitar 60 sampai 80 orang Denmark datang ke kantornya untuk mengucapkan dua kalimah syahadah.
Pada pihak lain sekitar 79 persen penduduk adalah penganut gereja Lutheran Denmark yang merupakan agama resmi negara. Tiga dasawarsa silam (1983) penganut Gereja Lutheran lebih dari 91 persen. Karena itu, Denmark sampai sekitar dua dasawarsa silam masih merupakan masyarakat monokultural, yang kemudian secara bertahap sampai sekarang mengalami proses multikulturalisasi.
Islam dan kaum Muslim yang terlihat kian kentara dapat juga dilihat dari pertumbuhan masjid. Pada 1967, penganut Ahmadiyah mendirikan masjid pertama di Kopenhagen, Masjid Nusrat Jahan. Kemudian ada pula Masjid yang disebut sebagai al-Markaz al-Tsaqafi al-Islami (Pusat Paradaban Islam) Kopenhagen yang dipimpin imam asal Arab Saudi.
Menurut estimasi Kementerian Luar Negeri Denmark pada 2006 terdapat sekitar 115 masjid di negara ini. Bisa dipastikan sebagian besar bukan benar-benar dengan bangunan masjid; lebih merupakan langgar atau mushalla di rumah atau apartemen. Memang tidak mudah mendirikan masjid di Denmark—sama seperti di banyak kawasan Eropa lain. Pembatasan ketat terutama terkait dengan zoning—peruntukan kawasan, di samping oposisi dari masyarakat sekitar.
Dalam situasi seperti itu, pembangunan apa yang disebut banyak media Denmark dan Eropa sebagai ‘masjid mega’ terbesar di Skandinavia (Denmark, Swedia, Norwegia, Finlandia) terasa luarbiasa. Terletak di Rovsingsgade Street, Norrebro, barat daya Kopenhagen, masjid yang disebut ‘Pusat Kebudayaan Islam Amir Hamad ibn Khalifa al-Tsani’, penguasa Qatar, memang mengagumkan. Bersama Dubes RI untuk Denmark, Profesor Bomer Pasaribu, kami diajak berkeliling meninjau berbagai fasilitas masjid di atas tanah seluas 6.800 meter persegi yang direncanakan selesai dalam satu setengah bulan mendatang.
Pembangunan komplek ‘Pusat Kebudayaan’ ini dimulai pembangunan menara setinggi 20 meter yang diselesaikan pada September 2013. Kemudian menyusul pembangunan dua bangunan terpisah, masing-masing bertingkat dua ditambah basemen. Gedung di sebelah kiri adalah masjid dengan ruang salat yang besar untuk jamaah laki-laki dan mezanin untuk perempuan. Gedung masjid ini terhubungkan via pelataran yang luas dengan bangunan kedua yang merupakan ‘pusat kebudayaan’. Dilengkapi perpustakaan, ruang konperensi, ruang kedap suara untuk anak-anak, ruang pertemuan, ruang sinema, ruang media, restoran ‘bintang lima’, kamar tidur untuk tamu, dan dapur, kompleks ini terlihat merupakan state of the art buildings.
Berdiskusi menjelang sejak waktu Ashar sampai menjelang Maghrib dengan sejumlah jamaah di bawah pimpinan Ketua Dewan Islam Denmark, Abdelhamid Hamdi, terdapat kesan kuat tentang rasa hormat mereka pada Islam Indonesia yang moderat, toleran, aman dan damai. Banyak harapan mereka gantungkan pada kaum Muslim Indonesia.
Bagaimana kesan terhadap masjid ini? Saya menyatakan rasa syukur masjid mega Kopenhagen dibangun Amir Qatar. Sepanjang pengamatan saya, Qatar tidak membawa misi ideologis paham/aliran Islam tertentu dalam membagi dan mendermakan kekayaan minyaknya untuk kemaslahatan dan martabat umat.