REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Terjemahan Ali Audah dikenal telah memenuhi standar yang akurat karena memang dilakukannya dengan hati-hati, cerdas, dan sungguh-sungguh. Pantang baginya untuk tergopoh-gopoh, karena pasti tidak akan menghasilkan suatu karya tulis yang dapat dipercaya. Ini adalah sebuah tanggung jawab moral yang tidak sederhana. Ketekunan dan kesabaran dalam kerja tulis menulis ini telah melambungkan nama Ali Audah sebagai “Legenda Zaman Kita,” seperti tertulis dalam TOR (Term of Reference/Terma Rujukan) panitia di atas.
Sebagai manusia yang telah melegenda di dunia merangkai huruf dan kata, Ali Audah tetaplah Ali Audah dengan segala kesederhanaannya. Penghormatan dan penghargaan yang diberikan kepadanya oleh para sahabat tentu dapat semakin menguatkan semangat juangnya untuk terus berkarya sampai saat ketentuan Allah berlaku pada setiap manusia.
Kitab tafsir dalam bahasa Inggris oleh Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an:Text, Translation, and Commentary, terbit pertama kali tahun 1934, setebal 1862 halaman, telah diterjemahkan Ali Auda dengan sangat baik. Terjemahan ini terbit tahun 2009, saat usianya sudah 84 tahun. Bukankah hal ini sebuah fenomena yang menarik dari seorang anak manusia yang pernah dikerangkeng guru madrasah lantaran nakal? Bagi Ali Audah, kenakalannya bukanlah pertanda manusia minus cita-cita. Yang berlaku adalah sebaliknya, di seberang kenakalannya itu bersembunyi sebuah elan vital (semangat hidup) yang ingin terbang tingi.
Tanpa pendidikan formal yang berarti, Ali Audah telah menjadi self-made man (pencetak diri sendiri) yang berjaya, bahkan bisa melebihi lulusan S3. Karena Allah memberikan potensi intelektual dan spiritual yang adil kepada manusia, maka jalan yang ditempuh Ali Audah dapat ditiru dengan satu syarat: jangan percaya kepada kegagalan! Untuk mengutip Chairil Anwar dalam “Aku”:
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Ali Audah telah menerjang liku-liku kehidupan yang penuh tikungan. Dan dia berhasil dengan gemilang. Karena kagum pada penulis Muhammad Dimjati dari Surakarta, Ali Audah muda pun pindah ke sana untuk berguru. Pendek kata, apa pun peluang yang terbuka untuk meningkatkan kualitas diri, Ali Audah melangkah ke situ. Dia selalu mencari dan mencari, “luka dan bisa” dibawanya “berlari,” sampai pada akhirnya meraih tingkat kematangan pribadi yang utuh. Ali Audah adalah seorang penulis prolifik, pengamat sastra yang tenang dan jernih, tanpa meledak-ledak, terhadap lawan ideologi sekalipun.
Saat usianya menginjak 73 tahun, terbit pula karyanya yang tidak kurang pentingnya dengan judul Konkordansi Qur'an: Panduan Kata Dalam Mencari Ayat-Ayat Qur’an. (Bandung-Jakarta: Mizan-Litera Antar Nusa, 1997), setebal 864 halaman. Dengan bantuan Konkordansi ini, orang akan dengan mudah menemukan ayat-ayat Al Quran yang sedang dicari. Sebagai rujukan dalam penyusunan Konkordansi ini, Ali Audah telah menggunakan sumber dalam bahasa Jerman dan bahasa Arab. Saya tidak tahu berapa ribu jam Ali Audah menghabiskan waktu untuk menyiapkan Konkordansi yang memuat ratusan halaman ini.
Akhirnya, tiada ungkapan yang layak disampaikan kepada tokoh ini kecuali do’a: semoga Allah senantiasa memberkati seluruh perjalanan hidup Ali Audah dan tetap diberiNya kesehatan, lahir batin. Selamat menginjak usia yang ke-90. Amin.