REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Pada 26 September 2014 malam dalam perjalanan ke Ternate, saya naik taksi dari rumah ke bandara Adisutjipto, Yogyakarta, menuju Bandara Soekarno-Hatta, untuk seterusnya ke tujuan terakhir awal dinihari. Sampai di Ternate sekitar jam 07.30 pagi WIT. Selama 30 menit saya berdialog dengan sopir S, sosok yang sudah saya kenal, seorang yang melek politik. Banyak informasi yang dapat digali, dari kehidupan pribadinya sebagai sopir sampai ke masalah politik nasional, citra kepartaian, dan para elite yang sulit dipercaya S. Tugas saya malam itu lebih banyak memancing S, maka meluncurlah dari mulutnya yang hampir tanpa jedah itu tentang persoalan yang sedang terpikul di bahu bangsa dan negara ini. Tuan dan puan jangan memandang enteng seorang sopir sebagai bagian dari wong cilik, rintihannya perlu didengar oleh kita semua, terutama oleh pemerintah, lokal atau nasional, sebagai pihak pengambil kebijakan dan keputusan.
Berbagai jenis kendaraan angkutan darat telah pernah dipegang oleh S, kecuali truk gandeng yang memang tidak diminatinya. Entah berapa kota yang sudah ditandanginya dalam kariernya sebagai sopir. Karena batang usia sudah semakin lanjut, sejak berapa tahun terakhir ini, S hanyalah menjalankan taksi dengan seorang mitranya secara bergantian. Suatu ketika beberapa tahun yang silam, S pernah ketiban rejeki Rp 2,5 juta per hari karena mengantarkan penumpang dengan jarak yang jauh, tidak hanya seorang. Tetapi, kejadian seperti itu, katanya, belum tentu berlaku empat tahun sekali.
Mendengar cerita ini, saya merasa senang, tetapi batin ini menjadi tergores karena honorarium yang diberikan kepada saya dalam sebuah kuliah umum atau seminar bisa mencapai enam kali lipat dari pendapatan tertinggi yang pernah diterima sopir S. Apalagi jika dijejerkan dengan penghasilan seorang pengusaha per hari yang bisa berada pada angka 100 kali lipat pendapatan S. Bedanya, jika orang seperti saya dapat rejeki sejumlah itu belum tentu sekali dalam sebulan, sementara S selama menjadi sopir barulah sekitar dua kali saja, sementara seorang pengusaha mendapat kucuran rejeki yang berlipat ganda itu saban hari.
Sopir S punya tiga anak dari isteri kedua, setelah berpisah dengan yang pertama, seorang guru SD, tetapi tidak punya keturunan. Sekalipun sudah berpisah dan masing-masing dengan pasangan barunya, S berucap: “Hubungan kami tetap baik, bahkan dengan pihak keluarga masing-masing. Masih saling mengunjungi.” S begitu santai bertutur tentang kehidupan pribadinya. Sebagai sopir, katanya, dia masih sanggup menghidupi keluarganya dengan segala kesederhanaan. Sewaktu ditanya tentang pergantian kepemimpinan nasional, S tidak mau bermimpi untuk perbaikan nasibnya. Kita kutip: “Saya tidak mau lagi berharap banyak akan perbaikan nasib, sekalipun akan terjadi pergantian kepemimpinan. Para caleg terlalu sering mengumbar janji dalam pemilu, tetapi setelah posisi diraih, janji-janji itu dilupakan begitu saja. Oleh sebab itu, sudahlah, nasib rakyat kecil tetap berlangsung tanpa perubahan yang berarti.”
Ada lagi yang merisaukan S. Katanya, dalam tempo dekat ini, akan ada tambahan jumlah taksi untuk DIY sebanyak 250 armada baru yang akan didistribusikan kepada pengusaha angkutan. Coba bayangkan, katanya, dengan jumlah taksi yang sekarang saja, para sopir sudah mengalami kesulitan mengais rejeki dengan persaingan yang cukup berat sesama mereka, apalagi jumlah itu akan digelembungkan lagi. Rintihan S berbunyi: “Sebagai rakyat kecil, kami tak berdaya!” Harapan kita semua, semoga rintihan para sopir ini akan didengar oleh pemerintah DIY, para pengusaha angkutan, dan siapa saja yang punya simpati dan empati kepada jeritan para sopir ini. Mereka adalah bagian sah dari rakyat Indonesia yang senantiasa siap melayani para penompang yang memerlukan jasa mereka. Sekalipun ongkos taksi terus saja bergerak naik, maka adalah sebuah kemuliaan jika kita sebagai pengguna tidak sekadar memberi uang pas kepada pemberi jasa ini.
Memang ada pula satu dua di antara para sopir ini yang punya sumber rejeki lain, berkat keuletan dan kegigihannya mencari peluang. Kelompok kecil ini di samping menyopir, juga punya kendaraan sewaannya sendiri pula. Mereka ini sudah punya rumah pribadi yang lumaian bagus dan anak-anaknya pun bisa belajar sampai tingkat sarjana. Dengan cara ini, sebuah mobilitas sosial menaik telah berlaku. Tetapi, jumlah yang bernasib lebih baik ini sangatlah minoritas. Kita salut kepada mereka. Seorang di antaranya telah pernah muncul di ruang ini.