Jumat 03 Oct 2014 06:00 WIB

Antara Kristalisasi dan Tubir Jurang

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Pada akhirnya, arah sejarah ditentukan, terutama, oleh yang berkuasa.

Kita sulit membayangkan jika Abraham Lincoln tak menjadi presiden Amerika. Seorang tukang kayu ini lebih dikenang dibandingkan Thomas Jefferson. Bahkan, dibandingkan presiden pertama negeri itu, George Washington.

Padahal, Lincoln 'hanyalah' presiden ke-16. Juga, bukan penyusun deklarasi kemerdekaan seperti Jefferson. Tapi, dialah yang membuat arah sejarah negeri itu menjadi seperti sekarang ini.

Persoalan pengukuhan atau penolakan perbudakan berimpit dengan persoalan federalis atau unionis. Ini juga sekaligus berimpitan dengan status sosial ekonomi mereka, bahkan kemudian pada perbedaan partai. Yang lebih celaka lagi adalah berimpit dengan konflik selatan-utara. Amerika Serikat benar-benar terbelah dan akhirnya perang saudara.

Orang tua Lincoln miskin dan tak berpendidikan. Ia juga hanya mengenyam bangku pendidikan selama satu tahun. Selebihnya, ia otodidak. Ia pernah menjadi tukang kayu, tentara, kelasi kapal sungai, juru tulis, mengurus kedai, kepala kantor pos, dan akhirnya pengacara.

Lincoln dikenal sebagai presiden yang memiliki kata-kata yang banyak memberikan inspirasi. Pidato-pidatonya banyak dibukukan. Memorialnya pun dibangun di ibu kota. Karakternya yang kuat telah membuat dirinya sebagai penentu arah sejarah Amerika Serikat. Ia menghapus perbudakan. Ia menghentikan perang saudara sekaligus mengakhiri konflik utara-selatan maupun unionis-federalis.

Walau tak segamblang dan seekstrem seperti di Amerika Serikat, Indonesia sedang menuju pada dikotomi itu. Mengkristal ke dalam dua kutub dalam banyak dimensi sosial-ekonomi yang berujung pada perbedaan dua kutub politik.

Indeks Gini Rasio sudah mencapai 0,43. Jusuf Kalla menilainya menuju situasi yang menimpa negara-negara Arab (Arab Spring), yang mencapai 0,45. Itulah yang mengakibatkan sejumlah negara itu bergolak, konflik dalam berbagai dimensi.

Pemilihan presiden yang lalu demikian tajam. Bukan karena hanya ada dua calon, melainkan di balik dua kandidat itu terkonsentrasi dua kutub kelompok politik yang tak gampang disatukan secara sejati. Dua kutub politik itu mencerminkan latar belakang sosial-ekonomi, bahkan budaya yang relatif berbeda.

Lebih jauh lagi, bisa ditelusuri pada genealogi ideologis dan pemikiran politik mereka yang bisa berakar dari rumpun yang tak sama. Tak heran jika perseteruan dua kelompok pendukung capres itu kemudian berlanjut hingga di parlemen. Situasi itu tak ditemukan pada Pemilihan Presiden 2004 dan 2009. Saat itu, perseteruan saat pilpres tak berlanjut di parlemen, bahkan sebagian partai menyeberang ke kubu presiden terpilih.

Puncak-puncak perseteruan setelah pilpres yang lalu terungkap dalam penyusunan UU MD3, UU Pilkada, dan pemilihan pimpinan parlemen. Saya memiliki hipotesis, perseteruan itu bukan cuma ketegangan panjang antara SBY-Megawati. Juga, bukan persoalan 'dendam Prabowo' terhadap Jokowi. Atau, perasaan tak nyaman Aburizal Bakrie dan Hatta Rajasa saat pergulatan penentuan cawapres pendamping Jokowi. Juga, bukan soal bagi-bagi kursi belaka di parlemen maupun pemerintahan daerah.

Karena itu, upaya-upaya untuk menarik Partai Demokrat, PAN, maupun PPP ke dalam Koalisi Indonesia Hebat (pendukung Jokowi) tak mudah dicapai. Mereka tetap kembali lagi ke Koalisi Merah Putih (pendukung Prabowo). Ada hal-hal yang lebih dalam yang tak terungkap ke publik.

Herbert Feith pernah membuat peta pemikiran politik Indonesia ke dalam komunisme, nasionalisme radikal, sosial demokrat, tradisionalisme Jawa, dan Islam. Masing-masing memiliki sisi irisan dan pertemuan.

Dalam pemikiran Islam sebagian bercorak sosialisme demokrat, tradisionalisme Jawa, dan nasionalisme radikal. Selain beririsan dengan Islam, sosialisme demokrat juga beririsan dengan nasionalisme radikal. Komunisme hanya beririsan dengan tradisionalisme Jawa. Nasionalisme radikal juga beririsan dengan tradisionalisme Jawa.

Peta itu dibuat sebelum Orde Baru. Kini, tentu sudah mengalami modifikasi. Komunisme sudah tidak ada lagi dalam wujud partai, bahkan bisa jadi tak juga dalam wujud perjuangan ideologis. Tapi, mereka tetap berhimpun karena solidaritas serta kesamaan aspirasi dan nasib. Di masa terkini, bahkan telah hadir pemikiran neoliberalisme. Hadirnya Orde Baru selama 32 tahun juga membentuk pola pemikiran baru yang cenderung pragmatis. Semuanya saling beririsan dan bertemu.

Ada hal yang patut dicermati, yaitu kecenderungan menguatnya bersatunya etnis dan kelas ekonomi dan kecenderungan mereka melakukan pengendalian politik. Dalam situasi politik yang oligarkis, hal itu menjadi keniscayaan potensi ancaman terhadap integrasi.

JS Furnivall (1878-1960) pernah meneliti masyarakat Indonesia yang majemuk. Ia membuat empat kesimpulan tentang masyarakat Indonesia, antara yang dikuasai dan yang menguasai memiliki perbedaan ras, pembagian kelas, tak ada kehendak bersama dalam kehidupan politik, dan tak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama. Tapi, harmoni bisa dijaga karena adanya cross cutting affiliation (menjadi anggota di lebih dari satu kesatuan sosial) sehingga muncul loyalitas ganda (cross cutting loyalities). Walau riset Furnivall terjadi pada masa lampau, ciri-cirinya masih relatif akurat.

Perseteruan politik yang dikotomis di satu sisi dan hadirnya disparitas pendapatan yang kian lebar harus menjadi perhatian serius bagi cerdik pandai dan para pemimpin. Munculnya oposisi yang kuat bisa dilihat menjadi berkah karena hadirnya kontrol yang sehat.

Di masa Orde Lama, bangsa ini masih belajar bernegara dan berbangsa. Orde Baru membonsai negeri ini menjadi negeri seolah-olah negeri yang semu. Pemerintahan Habibie, Gus Dur, dan Megawati merupakan pemerintahan transisional.

Pemerintahan SBY tak ingin terjebak konflik seperti tiga presiden sebelumnya. Ia cenderung untuk menyatukan semuanya. Karena itu, ia cenderung berada di wilayah "semua senang". Jadi, hadirnya dua kubu di pemerintahan mendatang bisa menjadi proses pendewasaan. Tapi, ada syaratnya, tak boleh anarkistis dan tak boleh menjatuhkan presiden. Dengan demikian, pemerintah bisa bekerja dengan tenang sambil mewujudkan visinya. Terjadi kompetisi yang sehat.

Tugas terpenting dari pemerintahan mendatang adalah memandu laju sejarah agar kondisi sosial-ekonomi menjadi sehat. Fokus untuk menghapus kemiskinan dan menghadirkan pemerataan ekonomi. Ada baiknya, kita mengingat kembali Pasal 33 UUD 1945.

Selaku ketua PPKI, saat melaporkan hasil permufakatan, dalam sidang pertamanya, Sukarno memberikan komentar pendek untuk ayat 1 dan ayat 2. Saat menyebutkan perekonomian berasas kekeluargaan, ia menyebutnya sebagai “kolektivisme”. Sedangkan, saat menyebutkan cabang produksi yang penting dikuasai negara, ia menyebutnya sebagai “sosialisme”. Itulah jalan pikiran Bung Karno. Saat amendemen konstitusi di awal reformasi, Pasal 33 ini sepakat untuk tak diutak-atik. Namun, dalam praktiknya, justru selalu tak jalan.

Kita merindukan hadirnya pemimpin seperti Lincoln yang membelokkan laju sejarah ke arah yang mulia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement