REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Saya akan mengenangmu.
Seraut wajah ramah dengan senyum di bibir, yang senantiasa diselipi sebatang rokok. Lelaki berkebangsaan Perancis yang menyebut saya sebagai anak perempuannya, dalam setiap e-mail yang dia kirimkan.
Usianya enam puluh tahunan. Kami berkenalan saat saya singgah di Sevilla dalam perjalanan darat dari Barcelona, ke Tangiers Maroko. Camille Lalos yang pelukis tertarik menegur setelah beberapa waktu mengamati sosok saya, backpacker berjilbab yang asik memotret gereja tua, salah satu landmark di Sevilla.
“Indonesia, adalah liburan terbaik saya,” bincangnya ramah mengawali perkenalan. Sekalipun awalnya ia kikuk dengan konsep hijab, tapi setelah berbincang kami menjadi cukup akrab. Mengetahui saya akan ke Paris, Camille mengundang saya ke galerinya yang terletak tak jauh dari Champ Elysees. Persahabatan beda bangsa, Negara dan agama yang berlanjut di dunia maya. Bahkan ia mengundang saya dan keluarga menginap di apartemennya jika berkunjung ke Paris.
Saya akan terus mengenangmu. Lelaki tampan di usia senja, dengan senyum yang selalu disinggahi sebatang rokok. Sosok yang menyebut dirinya ‘ayah’ dalam setiap email yang dia kirimkan. Tahun lalu, saya, suami dan anak-anak sempat menginap di apartemennya yang cukup besar. Kedua ananda memanggilnya Kakek. Camile yang juga pernah menjadi manajer restoran, memasakkan makanan Perancis dan memastikan apa yang kami makan halal.
Saya akan selalu mengenangmu. Meski senyuman berangsur memudar di wajah tampanmu setelah dokter memberikan diagnose kanker. Vonis yang menyurutkan semangat hidup lelaki yang sangat gemar traveling. Apalagi ia baru saja mendapat izin untuk mengemudikan boat, dan belum sempat mengendarai boatnya sendiri dalam perjalanan panjang.
“This cancer is by choice.”
Kalimatnya sendu. Ia menganggap terkena kanker karena pilihan sendiri. Sekalipun ketika kami berada di apartemennya ia berusaha tidak merokok di dalam rumah, tapi pada dasarnya ia perokok berat. Ayah Perancis saya sadar bahwa merokoklah yang membuat dirinya terjangkiti kanker stadium tinggi.
Saya akan mengenangmu. Lelaki tampan dengan senyum yang selalu diselipi sebatang rokok, yang membuat sebuah lukisan seorang ayah menggandeng tangan gadis kecilnya, empat puluh delapan jam setelah saya meninggalkan Paris, pada perjumpaan kedua kami.
Saya akan mengenangmu, dengan hati diselimuti duka tertahan. Dalam tangisan tanpa suara. Saat menerima kabar duka kepergiannya yang dikirimkan teman baiknya lewat email, saya tengah berada di Costarica. Saya tak bisa menangis, sebab sahabat saya, dua warga negara Costarica, Jorge dan Andres, menyengajakan diri mengambil cuti, dan menyusun jadwal perjalanan agar saya menikmati sisi terbaik negeri itu. Jerih payah yang sangat pantas mendapatkan luapan senyum.
Di tengah perjalanan, dalam ingatan saya tentang Camille, pada akhirnya kami berbincang seputar rokok. Mereka bercerita betapa di Costarica selama lima tahun ini, bukan saja tidak diperkenankan merokok di ruang publik, iklan rokok sama sekali dihapuskan. Nyaris sepekan di sana, saya memang tak menemukan satu pun iklan rokok di televisi, radio, atau billboard. Sesuatu yang sampai saat ini masih diperjuangkan di Indonesia.
Saya akan terus mengenangmu. Wajah tampan yang arif dengan sebatang rokok terselip di senyuman. Juga di sela dialog yang berkembang di teras hotel di Costarica, di mana Gunung Berapi Arenal yang berjarak dua kilometer terlihat menjulang.
Menurut Jorge jika ada yang merokok di sebuah restoran, maka pemerintah akan memberikan sanksi denda pada pemilik restoran tersebut, sehingga kontrol terhadap rokok dilakukan semua pihak.
Teringat berbatang-batang rokok yang bergantian tergantung di bibirmu. Kecerewetan saya yang memintamu mengurangi bahkan berhenti merokok, kala itu mendapat sanggahan.
“Saya sudah tidak minum, biarkan saya merokok,” kilahmu sambil mengambil sebatang rokok, meski belum lagi sepuluh menit berlalu dari rokok terakhirmu.
Pemandangan yang tak saya temui selama berada di Costarica, Negara yang terkenal dengan bio diversitynya. Pemerintah mengenakan pajak tinggi untuk rokok dan minuman keras. Hasil dari pajak tersebut digunakan untuk membiayai kampanye dan iklan anti rokok di berbagai media. Begitu keras usaha pemerintah, mungkin agar tak ada warganya yang terkena kanker akibat pilihan sendiri. Costarica dengan tegas berusaha melindungi warganya dari membuat pilihan yang salah.
Mau tidak mau pikiran saya terbang jauh ke tanah air. Negeri di mana perusahaan rokok berkembang menjadi perusahaan-perusahaan raksasa, dan iklannya terpampang besar-besar di billboard jalan. Di mana remaja bahkan anak-anak bebas membeli rokok bahkan minuman keras di warung dan mini market, bahkan tanpa dimintai kartu identitas. Negeri di mana kini tak hanya kaum Adam, tapi para hawa pun semakin banyak merokok.
Tidak hanya persoalan beresiko terkena kanker karena pilihan sendiri, tetapi di manakah hati saat kita pun menaruh anggota keluarga tercinta sebagai perokok pasif? Mereka yang tidak memilih terkena kanker, namun berada dalam posisi beresiko karena pilihan yang kita buat membahayakan mereka?
Selamat jalan, ‘Ayah Perancis’. Terima kasih untuk begitu banyak perhatian, kepedulian dan kebaikan yang menghujani saya dalam rentang waktu teramat singkat. Selamanya saya akan terus mengenang senyuman yang tak pernah lekang dari wajah. Namun izinkan kali ini dan seterusnya, ananda melukis kehangatan hati yang terwakili lengkung bibirmu, tanpa sebatang rokok lagi terselip di sana.