REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha
Kekuasaan bukan untuk dipertahankan. Kekuasaan hanya penting jika untuk kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
Al-Ghazali (1058-1111), seorang cendekiawan yang saleh. Pemikirannya memiliki pengaruh yang luas di kalangan Muslim. Karyanya Tahafut al-Falasifah dan Ihya 'Ulumuddin demikian legendaris.
Buku yang pertama membahas pemikiran filsafat di kalangan dunia Islam yang banyak terpengaruh pemikiran Yunani. Sedangkan buku yang kedua mengulas tentang kebangkitan ilmu-ilmu agama yang membahas soal fikih, teologi, dan tasawuf.
Selain itu, ia menulis kitab yang berujudul al-Tibbr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk. Kitab ini diterbitkan Mizan dengan judul Nasihat bagi Penguasa. Dalam kitab ini, Ghazali mengatakan, seorang yang tidak mendiskusikan pemikirannya maka sudah dapat dipastikan akan tersesat.
Allah pun menyuruh Rasul untuk bermusyawarah dengan para sahabat, apalagi manusia lain, termasuk presiden. Karena itu, bagi Ghazali, memilih menteri merupakan salah satu kunci menuju sukses bagi seorang penguasa.
“Tak mungkin seorang raja dapat membangun negaranya tanpa bantuan menteri,” katanya. Ghazali menyebut sejumlah kriteria untuk menteri dan kewajiban pemimpin terhadap para menterinya. Sebuah nasihat dari orang bijak yang harus kita dengar.
Kita tahu, tahapan pergantian kekuasaan di Indonesia sudah selesai. Joko Widodo (Jokowi) dan M Jusuf Kalla (JK) sudah dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Kabinetnya sedang disusun.
Dalam pidato pelantikannya, Jokowi menyitir kembali tentang visi Trisakti yang digagas Bung Karno. Kabinetnya besar kemungkinan diberi nama yang sama. Intinya ada tiga hal: berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Jokowi juga menegaskan kembali visinya di bidang maritim. Namun, ia tak mengelaborasi lebih spesifik dan konkret tentang hal-hal itu. Masih sloganistik. Jokowi juga menekankan kredonya: kerja ... kerja ... kerja .... Hal ini sesuai dengan karakter kepemimpinannya yang sudah ditunjukkan saat menjadi wali kota Solo maupun gubernur Jakarta, yakni blusukan.
Jika menilik nama-nama calon menteri di bidang ekonomi, kita layak mengkritisi. Banyak figur yang tak bervisi Trisakti. Mereka justru dari visi di seberang Trisakti.
Memang para pentolan non-Trisakti kemungkinan gagal masuk. Ini karena ada penolakan keras dari internal PDIP maupun dari banyak pihak. Karena itu yang masuk adalah dari lapis berikutnya.
Orang-orang yang dekat dengan Jokowi mengakui bahwa Jokowi banyak mendengar masukan tentang 'bahaya neolib', yang berada di seberang Trisakti itu. Namun, bagi Jokowi, siapa pun menterinya, ia yakin bisa ia kendalikan. Toh ia yang menjadi presidennya. Sehingga, ia tak khawatir terhadap keterwujudan Trisakti.
Politisi muda PDIP mengaku resah atas ketidakkonsistenan antara slogan dan figur calon menteri. Namun, mereka tak berani bersuara. Ini karena tradisi di PDIP yang feodalistik dan sentralistik. Sejumlah relawan juga gelisah. Bahkan, ada relawan yang blak-blakan menyebarkan pesan via Blackberry Messenger menolak keras neolib.
Joseph Eugene Stiglitz dalam bukunya //Globalization and Its Discontents// memberikan peringatan bahwa walau berusaha tetap di level akademik, dalam praktik pengambilan keputusan sering kali karena pertimbangan politik dan ideologi. Sebagai akademisi tentu peraih hadiah Nobel bidang Ekonomi itu tak suka, tapi praktik politik nyatanya demikian.
Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa ketidakmerataan, pengangguran, dan polusi membutuhkan peran penting pemerintah. Tak bisa diserahkan kepada pasar begitu saja.
Dalam bukunya yang lain, mantan ekonom senior Bank Dunia dan penasihat ekonomi presiden Bill Clinton itu mengingatkan kita agar tak terjebak pada kesalahan di masa lalu: terlalu banyak menaruh kepercayaan pada kata-kata, pada gagasan mistis tentang “kepercayaan pasar”.
Selama 47 tahun, sejak Orde Baru hingga kini, ekonom liberal (dan neolib) menguasai menteri-menteri ekonomi. Hasilnya Indonesia seperti ini saja. Jurang kaya-miskin kian lebar, kemiskinan tetap besar, lingkungan hidup rusak. Mereka bertumpu pada ekonomi sumber daya alam, konsumen yang besar, dan buruh murah.
Industri tak dibangun, kemandirian tak ditegakkan. Mereka biasanya akan menyalahkan presiden dan partai politik. Lalu untuk apa mereka merangsek, meninggalkan kampus, lalu berjuang untuk menjadi menteri? Tentu mereka bukan cuma mau menjadi pesuruh presiden. Mereka ingin mempraktikkan ilmu dan gagasannya.
Saat ini, kekuatan neolib sudah meraksasa. Jaringan mereka sudah sangat mengakar. Mereka ada di kampus, aktivis, politisi, pengusaha, birokrasi, konsultan, peneliti, tokoh masyarakat, dan juga LSM. Karena itu, butuh keberanian dan tekad yang kuat dari seorang presiden untuk mengembalikan kedaulatan di bidang ekonomi. Langkah pertamanya adalah memilih menteri yang bukan dari kelompok mereka. Tampaknya harapan itu bisa mengempis.
Ghazali bercerita bahwa suatu saat Nabi Sulaiman sedang duduk di singgasananya. Ia dibawa oleh angin ke angkasa, lalu melihat kerajaannya, dan memperhatikan manusia dan jin yang tunduk dan patuh kepadanya. Tapi, kemudian singgasananya oleng. Sulaiman berkata kepada singgasananya, “Tetaplah kamu.” Singgasana menjawab, “Tetaplah Baginda Raja, kami pun akan tetap pula.”
Oleng tidaknya kekuasaan bukan sebab orang lain, tapi karena dirinya sendiri. Menjadi penguasa harus kukuh pada pendiriannya. Jika keyakinan dan visi seorang presiden oleng maka kekuasaannya akan oleng pula.
Suatu waktu BJ Habibie bercerita, ia tak akan memilih orang yang banyak kerja, tapi tak punya visi. Hal itu berarti akan memberi peluang berbuat salah yang makin banyak. Bekerja tanpa visi akan membuat kita tersesat, tapi bermodalkan visi saja hanya akan menjadikan kita seorang demagog. Gabungan visi dan kerja keras akan mewujudkan kesempurnaan.