Selasa 20 Jan 2015 06:00 WIB

Alquran, Umat Islam, dan Persaudaraan Universal (II)

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dalam Mukhtashar min Tafsîr al-Imâm al-Thabarî dan Qur’ân Karîm: Tafsîr wa Bayân ma’a Asbâb al-Nuzûl li-‘l-Suyûthî, ayat 10 surat al-Ĥujurât di atas tidak diberi penjelasan tentang betapa pentingnya ungkapan innamâ di awal ayat itu. Saya heran mengapa kedua mufassir klasik yang berbeda abad itu tidak membahas prinsip utama tentang persaudaraan orang beriman ini. Mungkin dianggap ayat itu sudah sangat jelas, karenanya tidak perlu diberi penjelasan lagi. Atau mungkin juga karena yang saya cek ini adalah ringkasan kedua tafsir itu, di dalamnya ayat 10 itu tidak disertakan penjelasannya oleh yang meringkas.

Dalam suasana perpecahan masif dunia Islam sekarang ini, ayat ini perlu disuarakan dengan sangat lantang, sebab siapa tahu masih ada hati umat Islam yang akan menjadi lembut dan tersentuh oleh kandungannya yang terang benderang itu. Kita semua sadar bahwa perpecahan pasti bermuara kepada kehancuran atau kekalahan, tetapi ajaibnya kita tidak mau memasang rem untuk mencegahnya.

Sebagian mufassir kontemporer memang memberi ulasan terhadap ayat 10 itu. Muĥammad ‘Alî al-Shabûnî dalam Shafwat al-Tafâsîr, (1405 H/1985), Vol. 3, misalnya memberikan ulasan atas ayat 10 itu sebagai berikut: “Tidak ada persaudaraan kecuali antara orang-orang yang beriman, tidak ada persaudaraan antara seorang mu’min dengan seorang kafir…persaudaraan Islam lebih kokoh dari pada persaudaraan berdasarkan keturunan” (hlm. 235). Ungkapan terakhir inilah sebenarnya yang mesti dipedomani oleh umat Islam sedunia bahwa ikatan keturunan, latar belakang sejarah, dan bangsa tidak boleh menghancurkan bangunan persaudaraan universal berdasarkan agama. Tetapi yang berlaku adalah sebaliknya: persaudaraan imaniah berantakan akibat perbedaan suku, bangsa, mazhab, dan latar belakang sejarah. Betapa jauhnya bangunan dunia Islam dari cita-cita mulia Alquran.

Adalah mufassir A Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an (cet. 1975, hlm. 1405 catatan no. 4928) yang dengan bagus sekali memberi penjelasan atas ayat 10 itu sebagai berikut: “The enforcement of the Muslim Brotherhood is the greatest social ideal of Islam. On it was based the Prophet’s Sermon at the last pilgrimage, and Islam cannot be completely realized until this ideal is achieved.” (Pelaksanaan/penguatan Persaudaraan Muslim merupakan cita-cita sosial Islam yang terbesar. Atas`dasar itulah Khutbah Nabi saat di haji wada’ disampaikan, dan Islam tidak mungkin diwujudkan dengan sempurna sampai cita-cita ini berhasil diraih). Bagi saya, Yusuf Ali telah menangkap dengan sempurna pesan historis dari ayat 10 ini.

Bagaimana pula mufassir Hamka menjelaskan ayat 10 itu? Inilah kutipannya: “Maka ayat 10 Surat ini menjelaskan yang lebih positif lagi, bahwasanya kalau orang sudah sama-sama tumbuh iman dalam hatinya, tidak mungkin mereka bermusuhan. Jika tumbuh permusuhan lain tidak adalah karena sebab yang lain, misalnya karena salah faham, salah terima” (lih. Tafsir al-Azhar (2007, Juz XXV-XXVI, hlm. 199). Hamka benar, tetapi yang berlaku di dunia Islam sekarang tidak saja salah faham. Jauh melampaui itu. Kepentingan dan perlombaan duniawi telah mengalahkan cita-cita agung tentang persaudaraan yang demikian tajam, tetapi puitis, disampaikan Alquran puluhan abad yang silam. Dengan mengabaikan pesan ayat 10 ini, jangan terlalu berharap bahwa rahmat Allah akan turun kepada kita sebagaimana terbaca di ujung ayat itu. Ada tiga syarat untuk mengundang turunnya rahmat itu: kokohnya persaudaraan, perdamaian, dan sikap taqwa yang tulus. Nilai-nilai inilah yang tengah absen dalam komunitas Muslim di berbagai bagian dunia.

Tetapi tuan dan puan jangan sampai kehilangan asa mengikuti penjelasan Resonansi ini. Penulisnya tetap optimis bahwa pada saatnya nanti umat Islam akan sadar dan mau berunding dengan Alquran dengan kesediaan mengoreksi prilakunya yang menyimpang selama ini dari ketentuan agama yang benar, khususnya yang bertalian dengan persaudaraan imaniah.

Prinsip persaudaraan berdasarkan iman telah kita jelaskan dengan cita-cita sosial mulia yang menyertainya dan rintangan-rintangan utama yang menjadi sandungannya. Pada bagian ke-3 nanti, kita tengok pula gagasan Alquran tentang prinsip persaudaraan universal di antara umat manusia yang berbeda iman atau dengan mereka yang tidak beriman sama sekali.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement