Senin 18 May 2015 06:00 WIB

Ketika Negara-Negara Teluk Mengadu kepada Uncle Sam

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Uncle Sam yang dimaksud adalah sebuah sebutan untuk Amerika Serikat (AS). Sebutan ini muncul dari seorang pemasok daging bernama Samuel Wilson. Pada sekitar tahun 1812, ia menyediakan daging-daging untuk para tentara AS dalam tong-tong yang bertuliskan ‘US’. Maksudnya adalah United States alias Amerika Serikat. Namun, oleh para tentara, ‘US’ diplesetkan sebagai singkatan dari Uncle Sam atawa Paman Sam.

Kartunis AS, Thomas Nast, menggambarkan Paman Sam sebagai seorang pria dewasa yang yang tinggi dengan topi besar bermotifkan bendera AS (stars and stripes/bintang dan garis). Ia berbaju tebal warna merah, putih, dan biru, serta celana bergaris. Sosok ini dimaksudkan untuk melambangkan AS yang penuh respek.

Namun, AS bukan hanya Uncle Sam. Negara yang dipimpin BarackObama ini juga dikenal sebagai sheriff dunia. Dalam film-film cowboy,sheriff digambarkan sebagai kepala polisi yang memberantas para penjahat tanpa kompromi. Namun, bagi mereka yang tidak menyukai AS, sebutan sheriffjustru dimaksudkan sebagai lambang arogansi AS.

Dalam makna AS sebagai Uncle Sam dan sheriff inilah barangkali kemudian AS, atau tepatnya Presiden Obama, menjadi tempat mengadu dan sekaligus merajuk enam negara yang tergabung dalam  Dewan Kerjasama Teluk (Majlis at Ta’awun al Khaliji). Mereka adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Bahrain, dan Oman.

Yang mereka adukan adalah ‘kenakalan’ tetangga mereka: Iran. Mereka menganggap Iran telah membahayakan keamanan kawasan Timur Tengah, wabil khusus negara-negara Teluk, ketika negara Ayatullah Imam Ali Khamenei ini membentuk poros Syiah Iran-Irak, Suriah, dan Hizbullah di Lebanon. Mereka juga menuduh Iran telah memberikan bantuan militer pada milisi al Khauti di Yaman.

Kekhawatiran itu semakin meningkat manakala pada awal April lalu kelompok negara-negara P5+1 (lima negara anggota tetap PBB -- AS, Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina -- plus Jerman) telah menyetujui sekepakatan awal perjanjian nuklir dengan Iran. Yang dikhawatirkan negara-negara Teluk, bila kesepakatan itu benar-benar terwujud, maka embargo terhadap Iran akan dicabut, baik militer maupun ekonomi. Dan, saat itulah Iran akan semakin leluasa menancapkan pengaruhnya di sejumlah negara di Timur Tengah.

Atas kekhawatiran atau lebih tepatnya pengaduan negara-negara Teluk itulah Sang Paman, yang diwakili Presiden Obama, lalu mengundang para penguasa Teluk untuk hadir dalam sebuah pertemuan di Camp David. Nama yang terakhir ini merupakan tempat peristirahatan Presiden AS di sebuah taman di pegunungan Catoctin, Maryland, sekitar 100 km dari Washington.

Undangan ke Camp David menandakan pertemuan yang digagas Presiden Obama itu sangat spesial, namun dalam suasana yang lebih santai. Pertemuan penting lain di Camp David pernah diselenggarakan Presiden Jimmy Carter pada 1978. Saat itu ia menjadi tuan rumah pertemuan Perdana Menteri Israel Menachem Begin dengan Presiden Mesir Anwar Sadat. Pertemuan segitiga ini kemudian menghasilkan persejutuan damai antara Mesir dan Israel. Untuk tamu-tamu kenegaraan lain, Presiden AS biasa menerimanya di Gedung Putih. 

Terkait dengan rencama pertemuan dengan para penguasa Teluk itu, Presiden Obama, sebagaimana dikutip media al Sharq al Awsat, pun berjanji akan mendengarkan semua keluhan, pengaduan, rajukan, atau apa pun yang ingin disampaikan para penguasa Teluk.Obama juga menyatakan perjanjian nuklir dengan Iran tidak akan mengganggu hubungan baik AS dengan negara-negara Teluk. Bahkan ia menegaskan AS akan menjamin keamanan negara-negara tersebut.

Sikap dan janji-janji Obama ini tampaknya dimaksudkan untuk meredam kemarahan yang sudah kadung berlabuh di kepala para penguasa Teluk, terkait kesepakatan awal perjanjian nuklir Iran. Obama pun berharap pertemuannya dengan amir-amir dan pangeran penguasa Teluk dapat berjalan lancar.

Pertemuan itu berlangsung selama dua hari pada Rabu dan Kamis (13-14 Mei) lalu.  Bertajuk ‘‘Pertemuan Pemimpin Negara-negara Teluk dengan Amerika’, namun posisi duduk mereka tidak berhadap-hadapan sebagaimana dalam sebuah perundingan resmi antar-negara.

Pertemuan ini sepertinya disengaja dibuat sesantai mungkin sebagaimana rapat sebuah keluarga besar. Sang Paman (baca: Presiden Obama) sebagai pemimpin rapat didampingi menteri luar negerinya, John Kerry. Mereka duduk bersebelahan di kanan dan kirinya dengan para amir dan pangeran Teluk serta anggota delegasi mereka mengelilingi sebuah meja panjang. Petemuan itu pun, seperti tampak dalam foto-foto, diselingi banyak tawa dan canda.

Delegasi Saudi dipimpin sang putra mahkota Muhammad bin Nayef dan  wakilnya Muhammad bin Salman, lalu delegasi Qatar dipandu amirnya Sheikh Tamim bin Hamad. Berikutnya, delegasi Oman dikepalai wakil perdana menteri Sheikh Fahd bin Mahmud al Sa’id, delegasi Kuwait dipimpin Sheikh Shabah al Ahmad as Shabah, delegasi Uni Emirat Arab oleh putra mahkota Abu Dhabi Sheikh Muhammad bin Zayid, dan delegasi Bahrain dipimpin sang putra mahkota Amir Salman bin Hamad al Khalifah.

Ada tiga materi utama yang dibahas yang merupakan usulan dari delegasi negara-negara Teluk. Pertama, dampak dari kesepakatan perjanjian reaktor nuklir Iran pada keamanan kawasan Timur Tengah, terutama negara-negara Teluk. Kedua, bagaimana memerangi kelompok-kelompok teroris dan milisi radikal lainnya yang kini tumbuh subur di kawasan Timur Tengah, seperti ISIS, al Qaida, Bako Haram, Taliban, dan seterusnya. Ketiga, konflik berkepanjangan yang terjadi di Suriah, Irak, Yaman, dan Libia beserta dampaknya bagi keamanan kawasan.

Yang mengherankan, masalah bangsa Palestina dengan penjajah Israel tidak masuk dalam agenda pertemuan. Tidak ada penjelasan dari para delegasi mengenai hal ini. Bisa jadi lantaran Zionis Israel sekarang ini dianggap tidak lagi membahayakan buat keamanan negara-negara Teluk, karena itu masalah Palestina pun hilang dari peredaran.

Setelah melalui tiga kali pertemuan dan diselingi pertemuan bilateral antara Obama dan masing-masing delegasi enam negara Teluk, kesepakatan pun dicapai. Intinya, kesepakatan tentang reaktor nuklir Iran tidak akan mempengaruhi hubungan baik antara AS dan negara-negara Teluk yang sudah berlangsung selama tujuh dasawarsa. Sebaliknya, siapa pun yang mengganggu keamanan negara-negara Teluk akan menjadi musuh AS juga.

Pendek kata, pertemuan itu berakhir dengan happy ending. Setelah bertemu dengan Sang Paman, para amir dan pangeran penguasa negara-negara kaya Teluk itu bisa pulang ke negara masing-masing dengan tenang dan nyaman. Mereka bisa bermimpi indah ketika tidur dalam perjalanan pesawat jet pribadi yang menempuh jarak sekitar 10.800 km.

Ketika mereka sudah sampai di istana masing-masing, mereka akan tersenyum menyaksikan berita-berita yang menggembirakan. ‘‘Strategi Kerjasama Pertahanan dan Keamanan serta Operasi Bersama melawan Bahaya Iran telah Disepakati,’’ judul berita utama al Sharq al Awsat beberapa jam setelah pertemuan Camp David. ‘‘Camp David: Amerika Berjanji untuk Menghadapi Setiap Musuh yang Mengganggu Keamanan Teluk,’’ tulis Aljazeera.net dalam berita utamanya.

Namun, pertemuan di Camp David juga telah mempertegas bahwa konflik di antara negara atau blok-blok negara di Timur Tengah ternyata semakin tajam. Rasa curiga di antara mereka belum sirna. Pertemuan Camp David hanya menghasilkan janji AS untuk melindungi keamanan negara-negara Teluk yang kaya raya itu.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement