Sabtu 06 Jun 2015 06:00 WIB

Kelambu, Krim Anti Nyamuk, dan Air

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

"Caca masuk rumah sakit, demam berdarah!" suara Kakak di ujung telepon mengabarkan kondisi anaknya setelah beberapa hari demam. Keluarga bergegas menjenguk keponakan yang terlihat lesu dengan infus menempel di tangan.

Ayah dan ibunya menemani untuk memberi semangat. Belum lama berbincang di ruang perawatan, tiba-tiba pasangan suami-istri tersebut mendengar kabar lain. Anak kedua mereka juga demam dan mendesak harus diperiksa darah. Sang ibu terpaksa pulang meninggalkan putri pertama di rumah sakit karena harus mengurus anak kedua yang juga panas.

Keesokan hari setelah tes darah di laboratorium, ternyata sang adik juga terjangkit penyakit DBD. Kedua kakak beradik tersebut pun dirawat di satu kamar inap yang sama. Cobaan berat bagi setiap orang tua. Apalagi sakitnya DBD.

Ketika hal ini saya ceritakan, seorang teman nyaris tertawa. Alasannya saya mengerti kemudian. "Saya malah pernah sekeluarga berempat, semuanya dirawat karena demam berdarah."

Teman saya meneruskan. "Awalnya Bapak masuk rumah sakit karena demam berdarah, lalu ternyata Ibu terjangkit. Sehari setelah membesuk orang tua kami, saya dan adik malah turut dirawat karena positif demam berdarah!" lanjutnya dengan ekspresi melas bercampur lucu mengenang sakit berjamaah gara-gara satu jenis penyakit: DBD!

Kejadian ini mengingatkan saya pada satu fakta, betapa kampanye demam berdarah belum digarap secara maksimal, kesannya belum serius menangani sosialisasi penyakit yang mudah mewabah ini. Saya sendiri melihat ada kelemahan utama dalam kampanye penanggulangan DBD.

Sejak kecil sampai sekarang, kita masih berkutat di 3M (menguras, menutup, dan mengubur). Beberapa tulisan mulai menambah “memantau”, “memelihara ikan”, dan lain-lain. Tapi ada satu hal penting-menurut saya malah sangat penting-yang jarang dikampanyekan, yaitu meminimalkan penularan.

Dalam kampanye penanggulangan demam berdarah, masyarakat seolah dicekoki ancaman utama penyebabnya, yaitu nyamuk Aedes aegypti sehingga semua langkah yang dianjurkan adalah bagaimana memberantas nyamuk tersebut. Begitu gencar, mungkin sampai-sampai sebagian besar masyarakat mengira bahwa nyamuk tersebut lahir membawa virus dengue.

Padahal, nyamuk ketika menetas bukan "makluk berbahaya", dalam arti mereka lahir tidak dengan membawa virus, melainkan mendapatkannya ketika menggigit manusia yang darahnya mengandung virus penyebab DBD. Artinya, langkah paling penting untuk meminimalkan penyebarannya adalah dengan menghindari-tidak melakukan kontak langsung-penderita yang positif terjangkit penyakit itu.

Jika ada nyamuk aedes beterbangan tapi tidak punya akses menggigit penderita demam berdarah, sekalipun banyak, maka gangguan nyamuk tersebut hanya seperti nyamuk biasa.

Karena itu, seharusnya saat ini meski sepele juga dipropagandakan anjuran para penderita DBD untuk memakai kelambu ketika tidur sehingga tidak ada nyamuk yang menggigit mereka. Selain itu, ketika sehari-hari, penderita demam berdarah diingatkan untuk mengoleskan krim antigigitan nyamuk.

Setidaknya rutinitas ini bisa dimulai di setiap rumah sakit karena rumah sakit juga berpotensi dalam penularan demam berdarah. Insya Allah jika program 3M atau 4M ditambah dengan kewajiban memakai kelambu dan krim antinyamuk pada penderita, akan mengurangi secara masif penularan demam berdarah.

Selain penularan, ada satu hal penting yang perlu diketahui penderita tapi kurang disosialisasikan oleh pemerintah, yaitu pentingnya air, air, dan air. Masyarakat umum sampai lapisan bawah seharusnya terinformasikan bahwa air putih adalah kebutuhan paling mendasar untuk penanganan demam bedarah. Setidaknya ketika penderita masih dalam perawatan di rumah atau dalam antrean di RS, pihak keluarga bisa melakukan langkah pertolongan awal.

Semoga tulisan ini meski terkesan remeh, bisa mengingatkan bahwa masih banyak hal bisa kita lakukan untuk menanggulangi demam berdarah. Selama bertahun-tahun Indonesia sering menjadi peringkat satu atau kedua tertinggi di dunia untuk jumlah penderita penyakit yang disebabkan virus dengue ini. Kita harus menemukan berbagai pendekatan baru, paradigma baru, agar ada perubahan yang signifikan.

Mungkin ide di atas salah satunya. Memasukkan demam berdarah dalam kurikulum sekolah dasar mungkin juga solusi lain. Intinya, selalu mencari cara yang lebih baik dan lebih baik lagi agar penyebaran demam berdarah bisa diminimalkan sejauh mungkin.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement