REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha
Mata bulat dan bening kanak-kanak. Mulut merekah dan pipi bulat. Rambutnya pun ikal. Angeline demikian menggemaskan dan bikin kita mudah simpati. Tak ada alasan untuk tak menyayangi bocah berusia delapan tahun itu. Namun, kisah pilu lebih mewarnai gadis kecil yang cantik itu. Kita semua layak menitikkan air mata.
Dia memiliki orang tua asli. Masih lengkap walau telah bercerai. Namun, dia kemudian “dilepas” menjadi anak angkat di saat Engeline berumur tiga hari dengan alasan orang tuanya tak punya uang untuk biaya persalinan.
Ayah angkatnya, Douglas, berkewarganegaraan Amerika Serikat-yang lama bekerja di perusahaan minyak-telah meninggal dunia. Penderitaan pun dimulai. Dia hidup bersama ibu angkat dan kakak-kakak angkatnya. Dia juga pemegang hak waris dari mendiang ayah angkatnya -kakak-kakak angkatnya adalah anak bawaan ibu angkatnya sebelum menikah dengan Douglas.
Ada situasi rumit yang melatari kasus ini. Polisi masih harus mengurai dan pengadilan yang akan memastikannya. Ada dugaan problem psikologis dari orang-orang yang diduga menjadi pelakunya. Juga ada kemungkinan merebut harta warisan.
Intinya, Engeline mati dibunuh secara sadis: leher dijerat, penuh lebam di sekujur tubuh, dan ada bekas sundutan rokok. Isu ini mencuat dengan diawali pemberitahuan berita kehilangan pada 16 Mei. Mereka mengadukan dan mengumumkan bahwa Angeline hilang. Menteri PAN RB dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang berusaha bertandang ke rumah pun “diusir”. Akhirnya, polisi menemukan mayat Engeline dikubur di belakang rumah pada 10 Juni.
Dari pemberitaan juga diketahui bahwa penderitaan Angeline sudah terendus pihak sekolah hampir satu tahun terakhir ini. Engeline sering menangis di sekolah, lusuh, bau, dan murung. Karena itu, sudah ada upaya menyelamatkan Engeline. Namun, upaya itu mentok begitu saja.
Jika kita boleh berandai-andai, kasus pembunuhan sadis ini tak perlu terjadi. Kita masih ingat pada kasus orang tua yang menelantarkan anaknya pada Mei lalu. Kasus di Cibubur, Jawa Barat, itu terungkap karena ada pengaduan dari tetangganya. Polisi dengan cepat menangkap orang tua yang menjadi dosen itu.
Anak-anak bukan milik orang tuanya. Anak-anak adalah milik umat manusia. Mereka milik sejarah dan peradaban. Anak adalah milik dirinya sendiri. Karena itu, negara harus melindungi dan bertanggung jawab terhadap anak-anak. Karena, mereka adalah masa depan suatu bangsa, suatu negara. Mereka adalah masa depan peradaban dan masa depan sejarah.
Hukum harus mengatur titik-titik poin sebuah perlindungan di pergerakan dan batas-batas kewenangan orang tua diberhentikan. Indonesia telah memiliki undang-undang perlindungan anak. Karena itu, ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Sosial juga menjangkau masalah ini. Negeri ini sudah berada di jalur yang benar.
Namun, hukum formal, lembaga formal, dan keberadaan aparat tak menjadi jaminan bekerjanya sistem. Ia membutuhkan partisipasi orang-orangnya, terutama masyarakat. Kasus penelantaran anak di Cibubur tak terungkap tanpa ada pengaduan tetangganya.
Kita juga menyaksikan para orang tua yang mempekerjakan anaknya menjadi pengamen dan peminta-minta. Atau, mereka tak disekolahkan, tapi dipaksa bekerja dan membantu pekerjaan orang tuanya. Mereka kehilangan masa kecil dan bahkan tidak sekolah.
Pemerintah belum bisa menghapus kemiskinan, juga belum bisa memberi jaminan pendidikan. Data pemerintah juga menunjukkan, anak-anak dari keluarga paling miskin justru bukan sekolah di sekolah negeri. Mereka lebih banyak sekolah di madrasah-madrasah swasta. Ini karena ada kelenturan dalam administrasi dan pola penyelenggaraan pendidikan di madrasah swasta-berkat konsep wakaf.
Kisah Engeline menampar muka kita. Di tengah ketakberdayaan kita menghadapi nasib anak-anak, kisah gadis berdarah Banyuwangi ini telah melampaui imajinasi kita semua. Orang tua bercerai, berganti orang tua, lalu hidup dalam siksaan yang panjang, dan akhirnya kematian yang sadis.
Kematian mungkin jalan terbaik yang diatur Tuhan. Sang Pemilik lebih mengasihinya. Kisah Angeline ini mestinya menyadarkan kita semua. Perceraian dan adopsi harus dilalui tidak dengan mudah. Ada hak anak di sana, ada tanggung jawab negara di sana. Ini bukan lagi soal hubungan individual.
Poin berikutnya adalah keharusan membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa publik mempunyai hak terhadap semua anak. Jika ada pelanggaran hukum oleh orang tua terhadap anak maka publik harus melaporkan hal itu ke polisi. Jika saja hal itu dilakukan terhadap Engeline maka jalannya kehidupan bisa saja berbeda.
Pada titik ini, pemerintah dan polisi harus menyuarakan bangkitnya kepedulian publik dan jaminan dari kepolisian bahwa hal itu tak akan membuat repot si pelapor. Hingga kini, hal ini belum menjadi perhatian dari lembaga-lembaga terkait. Semua tersedot pada pengungkapan kasus pembunuhannya. Padahal, itu sudah pasti akan dikerjakan polisi. Pencegahan adalah poin terpenting. Ini yang harus menjadi kesadaran bersama.
Kepedulian kita terhadap anak adalah investasi negeri bagi masa depan sebuah bangsa. Anak yang dididik secara salah bisa menjadi beban karena ketakmampuannya atau bahkan menjadi bibit kriminalitas. Para bandit sadis lahir dari masa kecil yang buram dan gelap. Kita tentu tak ingin hidup dalam cekaman seperti itu. Kepedulian kita adalah untuk masa depan kita, anak cucu kita sendiri.