REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:Ahmad Syafii Maarif
Satu kali bersama Chairul Tandjung saya berkunjung ke Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, yang fenomenal. Sewaktu saya tanya tentang apakah untuk pembangunan kota sepenuhnya tergantung kepada kecukupan APBD, dijawab: sama sekali bukan. Lalu bagaimana? Bangun kepercayaan warga kepada pemerintah dan berdayakan mereka. Nanti dana akan datang sendiri. Demikian sederhana sebenarnya, tetapi di sinilah masalahnya: hanya segelintir gubernur/bupati/wali kota yang dipercayai rakyatnya. Sebagian mereka telah makan sumpah. Dan tidak sedikit pula yang telah jadi pasien KPK. Mereka memerintah dengan kepalsuan. Politik uang telah merusak parah sistem demokrasi kita.
Risma adalah tipe pemimpin petarung sejati. Masih ada sedikit pejabat lagi yang dapat dikategorikan sebagai petarung dari sekian ratus Dati II dan 34 propinsi. Mereka inilah sebenarnya yang bisa diharapkan membangun daerahnya masing-masing dengan tidak terlalu menggantungkan diri kepada PAD (Penghasilan Asli Daerah) dan APBD. Adapun pejabat yang bukan petarung, kita tidak dapat dapat berharap banyak akan hasil kerjanya, karena bagi mereka menjabat bukan untuk membela rakyat, tetapi sebagai ranah untuk berdagang politik. Tipe inilah yang jumlahnya berjibun di republik ini. Mereka adalah parasit yang menggerogoti pundi-pundi negara.
Saya ingin menambahkan daftar petarung ini, sekalipun belum begitu dikenal publik. Namanya H. Musthofa, bupati Kudus periode kedua. Dia adalah salah seorang Tim Sukses Jokowi untuk sebagian kawasan pantura. Ketika dia berkunjung ke rumah saya pada tanggal 25 Juli 2015, dia sedikit kecewa mengapa setelah hampir setahun pemerintah belum banyak yang dihasilkan, sementara angka kemiskinan meningkat tajam. Penerimaan pajak merosot, nilai rupiah terhadap dolar mungkin sudah mendekati lampu merah, pertumbuhan ekonomi sudah di bawah lima persen, semua pengusaha mengeluh.
Sejak sekitar enam bulan yang lalu Musthofa melancarkan KUP (Kredit Usaha Produktif) untuk membantu para pengusaha kecil dengan tidak membebani APBD, tetapi bermitra dengan Bank Jawa Tengah. Sebagai seorang yang cukup lama bergerak di dunia asuransi merangkap sebagai pengusaha BPR (Bank Perkreditan Rakyat) di Semarang, Musthofa telah punya jaringan untuk menopang program KUP-nya. Untuk manfaat KUP, ada lima sasaran yang dituju: meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja, menurunkan angka pengangguran, menurunkan tingkat kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat desa. Musthofa mengatakan kepada saya program ini diilhami oleh Muhammad Yunus dengan Grameen Bank-nya di Bangladesh yang disesuaikan dengan kondisi domestik. Yunus dikenal dunia sebagai “Banker to the Poor” (bankirnya orang miskin). Ajaibnya, bank ini adalah tanpa agunan, dan dahsyatnya angka kredit macet sangat rendah yang mayoritas nasabahnya adalah kaum perempuan.
Pengalaman Musthofa di Kudus hampir serupa: rakyat kecil jika diberdayakan ternyata tahu diri, pandai berterima kasih, sekalipun mereka harus membayar bunga 0,9% per bulan, sebuah angka yang sebenarnya tidak terlalu kecil. Tetapi karena dana pinjaman itu berputar cepat dalam roda UKM (usaha menengah kecil) yang bunganya bisa diangsur saban hari, maka terasa meringankan. Kata Musthofa, sekarang sudah mencapai angka ribuan pengusaha UKM di Kabupaten Kudus yang merasa terbantu oleh KUP ini. Ada empat kategori besarnya pinjaman: Rp 5 juta, Rp. 10 juta, Rp. 15 juta, dan yang tertinggi Rp. 20 juta. Pengakuan Musthofa tentang KUP ini mengapa bisa berjalan baik karena dana ada, bupati punya kekuasaan, ada fasiltas bank yang mendanai dan memantau pelaksaan program ini di lapangan. Masing-masing debitor diberi kartu pinjaman untuk memudahkan mereka berurusan dengan bank dengan jangka waktu tiga tahun.
Saya tidak tahu mengapa Bupati Musthofa mendatangi saya yang tak faham masalah ekonomi ini. Kunjungan yang baru saja adalah yang kedua kali, dan saya pun sudah pula diundang ke Kudus tahun 2014 menghadiri tabligh akbar di malam hari yang didatangi oleh ribuan pengunjung. Ketika kunjungan pertama ke rumah, saya memang menantang bupati: percuma bicara macam-macam jenis pembangunan jika angka kemiskinan tidak berkurang. Kata Musthofa, tantangan inilah yang memaksanya putar otak yang kemudian membuahkan KUP itu. Tentu saja saya gembira mendengar pengakuan bupati untuk seseorang yang sebenarnya buta tentang ABC pembangunan.
Untuk selanjutnya mari kita pantau bersama apakah nanti program KUP ini akan mengikuti jejak Muhammad Yunus yang fenomenal itu sehingga mengangkat nama Yunus sebagai pemenang Hadiah Nobel tahun 2006. Masa tiga tahun lagi jabatan Musthofa akan menjadi taruhan bahwa KUP-nya itu memang bisa dijadikan contoh untuk tingkat nasional. Jika ini berjaya, maka mimpi panjang untuk menghalau kemiskinan akan menjadi kenyataan. Negeri ini hanya bisa diselamatkan oleh para petarung sejati. Petarung yang telah selesai dengan dirinya. Semoga rahim nusantara akan melahirkan para pemimpin tipe petarung ini!