REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Prancis mengkritik keras sikap Hungaria yang memasang pagar kawat berduri di perbatasan untuk mencegah para pengungsi Timur Tengah (Timteng) memasuki wilayahnya. Mereka mengatakan tindakan itu tidak berperikemanusiaan. Binatang saja tidak diperlakukan seperti itu, apalagi ini manusia.
Kritikan serupa juga dilamatkan ke Slovakia yang ingin menerima 200 pengungsi Suriah, namun dengan syarat hanya yang beragama Kristen. Sikap itu dituduh sebagai diskriminatif dan rasis yang didasarkan pada kebencian agama. Bahkan Kanselir Jerman Angela Merkel menyatakan malu dengan sikap Slovakia. Ia mengingatkan tentang bahayanya sikap diskriminatif yang didasarkan pada sentiman agama.
Presiden Prancis Francois Hollande dan Kanselir Jerman lalu menyerukan agar 28 negara yang tergabung dalam Uni Eropa dapat berbagi tugas dan beban terhadap 120 ribu pengungsi dengan cara yang lebih adil. Banyak dari para pengungsi itu kini terkatung-katung di perbatasan negara-negara Eropa. Sementara itu, sejumlah politisi Jerman juga meminta agar Inggris membuka pintunya lebih lebar untuk menerima para pengungsi.
Negara-negara Eropa memang berbeda sikap dan pandangan terhadap para pengungsi yang kini membanjiri wilayah mereka. Pertama, menerima para pengungsi dengan tangan terbuka. Sikap ini didasarkan pada humanisme atau rasa kemanusiaan dan hak asasi manusia.
Mereka melihat nasib malang para pengungsi yang sudah di luar batas perikemanusiaan. Kapal-kapal kecil yang ditumpangi para pengungsi melebihi kapasitas yang kemudian menyebabkannya tenggelam di laut. Lalu ribuan mayat pengungsi yang terdampar di pantai-pantai. Juga pemandangan umum ribuan bocah dan perempuan pengungsi yang ketakutan, kehausan, dan kelaparan. Semua ini kemudian menggerakkan rasa kemanusiaan untuk dapat menampung para pengungsi di negara mereka.
Kedua, menolak kehadiran para pengungsi di Daratan Eropa. Penyebabnya bisa karena faktor ekonomi, sosial-budaya, atau bahkan rasisme. Mereka melihat Eropa sudah tidak bisa menanggung beban ekonomi tambahan dengan kehadiran puluhan ribu pengungsi Timur Tengah. Apalagi Eropa kini sedang mengalami krisis pengangguran, terutama di kalangan anak-anak muda. Sementara beban jaminan sosial bagi para pensiunan meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir ini.
Alasan lainnya, adanya kekhawatiran bahwa kehadiran para pengungsi akan bisa mengganggu bangunan politik dan sosial-budaya di negara-negara Eropa selama ini. Para pengungsi dikhawatirkan akan bisa memberi pengaruh negatif pada nilai-nilai sekuler yang dianut bangsa Eropa.
Penolakan terhadap para pengungsi ini kemudian diperparah atau tepatnya dimanfaatkan oleh para politisi ekstrim kanan, yang selama ini memang dikenal sebagai anti-imigran Arab dan Muslim. Dengan memanfaatkan liputan media terhadap persoalan pengungsi yang membanjiri Daratan Eropa, mereka menebarkan ketakutan di kalangan masyarakat Eropa.
Menurut mereka, kehadiran pengungsi Timur Tengah akan mengurangi peluang kerja, tempat tinggal, dan jaminan sosial di masyarakat negara-negara Eropa. Apalagi mayoritas pengungsi adalah Muslim. Mereka dinilai bisa mengganggu sistem masyarakat Eropa yang demokratis sekuler.
Ya, sikap negara-negara Eropa terhadap kehadiran pengungsi Timur Tengah yang mayoritas beragama Islam, dalam beberapa hari ini juga menjadi pembicaraan ramai dalam diskusi kecil dengan teman-teman, baik melalui grup WA maupun pertemuan langsung. Beberapa teman mengomentari ‘resonansi’ saya pada edisi Senin lalu. Di kolom itu saya katakan eksodus pengungsi Timur Tengah ke Daratan Eropa sekarang ini merupakan ‘Tragedi Kemanusiaan yang Sangat Mengerikan’.
Di antara yang kami diskusikan adalah sikap Slovakia yang rasis, yang hanya mau menerima para pengungsi yang beragama Kristen. Juga tentang berita di media yang menyebutkan beberapa pengungsi sengaja mengganti agama -- dari Islam ke Kristen -- demi mengharap dapat kemudahan bisa tinggal di Jerman.
Pertanyaannya kemudian, mengapa negara-negara Arab dan Islam (berpenduduk mayoritas Muslim) tidak mau menampung mereka? Lalu, mengapa kita menuntut negara-negara Eropa dapat menerima para pengungsi Timur Tengah itu tanpa syarat?
Kontroversi tentang masalah pengungsi ini ternyata juga menjadi diskusi ramai di masyarakat Eropa, terutama di Inggris. Lihatlah berbagai komentar masyarakat di kolom ‘surat pembaca’ di sejumlah media mengenai nasib menyedihkan para pengungsi ini. Banyak dari mereka yang juga mempertanyakan tanggung jawab negara-negara Arab dan Islam terhadap nasib para pengungsi.
Yang jelas, masalah pengungsi kini menjadi headline di Eropa. Berbagai pertemuan telah mereka gelar, baik pertemuan tingkat tinggi maupun bilateral antar-negara. Intinya, bagaimana selayaknya memperlakukan para pengungsi yang sekarang ini membanjiri Daratan Eropa. Sebaliknya, dan ini sungguh menyedihkan, Dunia Islam (Organisasi Kerjasama Islam) dan Arab (Liga Arab) sepertinya adem ayem saja. Bahkan tidak tampak ada upaya menyelenggarakan KTT darurat, bilateral, multilateral atau apapun namanya, untuk menyikapi nasib buruk para pengungsi ini.
Mereka -- para pemimpim Liga Arab dan OKI -- seolah mengatakan kepada para pengungsi, ‘‘Sebodo amat dengan kalian!’’ Padahal, penyebab utama terjadinya pengungsian adalah konflik, perang, dan rebutan kekuasaan yang terjadi justeru di negara-negara Arab dan Islam.
Betul, sejumlah negara Arab seperti Turki, Lebanon, dan Yordania kini menampung lebih dari 3 juta pengungsi dari Suriah dan Irak. Namun, kondisi mereka -- para pengungsi itu -- di kemah-kemah yang disediakan sangat memprihatinkan. Kesediaan makanan dan minuman serta pelayanannya sangat minim.
Hal itulah yang kemudian membuat para pengungsi terpaksa mencari berbagai cara untuk dapat pergi ke Eropa, meskipun untuk itu harus manantang maut sekalipun. Mereka memandang Eropa lebih manusiawi dalam memperlakukan para pengungsi dibandingkan dengan negara-negara yang tergabung dalam Liba Arab, OKI maupun negara-negara kaya Tekuk.
Kalaulah Liga Arab dan OKI mau menunjukkan tanggungjawabnya, maka penderitaan para pengungsi bisa jadi berkurang. Apalagi negara-negara Teluk dikenal sangat kaya raya. Namun, faktanya untuk mendapatkan suaka politik di negara-negara Teluk dan Arab kaya lainnya, persyaratannya justru lebih berat daripada di negara-negara Eropa.
Lalu adakah ikatan agama tidak cukup kuat untuk mengggerakkan para pemimpin Liga Arab, OKI, dan kita untuk membantu para pengungsi yang mayoritas Muslim? Di manakah solidaritas seiman dan se-Islam kita? Barangkali hati dan perasaan kita memang sudah tumpul. Wallahu a’lam.