Jumat 11 Dec 2015 06:00 WIB

Apa yang Tersisa dari Bangsa ini?

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Seorang menteri hanya geleng-geleng kepala. Ia tak habis pikir bagaimana bisa besi baja termasuk benda yang diselundupkan ke Indonesia. Besi baja pasti berat dan ada yang lebar, ada pula yang panjang.

Bayangan kita tentang penyelundupan adalah benda-benda relatif kecil dan relatif ringan, seperti narkoba, ponsel, dan barang elektronik lainnya. Hilang akal kita jika besi baja saja bisa diselundupkan, apalagi yang lain-lainnya.

Intinya, bangsa ini benar-benar sudah tak waras. Kejahatan yang masif, sistematis, dan terstruktur ini tak mungkin hanya masalah pejabat di pelabuhan dan di bea cukai. Ini pasti melibatkan semuanya, termasuk polisi dan tentara.

Pembicaraan itu berawal dari kondisi BUMN baja yang kini kembali dalam fase yang tak menggembirakan. Padahal, BUMN ini sudah bermitra dengan perusahaan baja besar dari luar negeri. Perusahaan itu menjadi sulit berkembang akibat pasar yang dirusak oleh penyelundupan. Tentu, penyelundupan hanya satu faktor, masih banyak faktor lain yang bersifat internal.

Kerusakan negeri ini masuk di segala lini, utamanya adalah karena faktor korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pembangunan ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan selalu terbentur pada tiga poin itu. Pemilu atau pilkada yang diadakan lima tahun sekali menjadi katarsis yang semu.

Upaya penyucian, pembaruan, dan pembangun harapan baru sebetulnya sia-sia belaka. Semua janji saat kampanye tak mungkin bisa dipenuhi. Sistem kepartaian dan sistem politik yang kita bangun sangat mengandalkan kekuatan uang.

Di tengah ketimpangan ekonomi yang dahsyat, maka hal itu hanya menciptakan ketergantungan pada beberapa gelintir orang. Hal itu pada akhirnya menuntut dikembalikan melalui kebijakan yang bersifat koruptif dan kolutif. Akibatnya, tujuan politik untuk membangun kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan menjadi punah.

Sudah menjadi watak sebuah kejahatan, apalagi jika dilakukan pemimpinnya, maka akan dengan cepat menjadi teladan. Tak hanya mendekonstruksi birokrasi dan partai yang bersentuhan langsung, tapi menjalar ke seluruh elemen sosial. Karena itu, negeri ini sebenarnya berjalan tanpa cetak biru. Semua alamiah saja. Jika pun tak runtuh, ini karena alam negeri ini demikian kaya.

Habis minyak ada kayu, habis kayu ada batu bara, habis batu bara ada gas, habis gas ada minyak goreng, lalu kita tak tahu setelah itu apa. Yang diupayakan adalah pariwisata, yang ini pun karena alam kita yang indah tiada tara.

Seorang duta besar bercerita bahwa dirinya ditugasi pemerintah untuk berjualan. Lalu, ia menggali data perdagangan. Hasilnya adalah perdagangan sumber daya alam belaka. Paling banter, ia berpromosi pariwisata. Barang industri lebih banyak kerajinan masyarakat, yang nilainya relatif kecil. Tak ada barang industri besar yang bisa dijual.

Tak heran jika perjalanan negeri ini secara kualitatif hanya sedikit bergerak. Karena itu, di akhir obrolan selalu berujung pada kegetiran. Tak jarang, kemudian mulai bicara ngelantur, seperti menghitung hari kapan Papua lepas, kapan Aceh lepas, kapan Manado lepas, kapan Bali lepas, kapan Maluku lepas. Jleb!

Kita pun mulai takut, walaupun untuk Indonesia terbalkanisasi tak juga mudah. Namun, menakut-nakuti bahwa itu karena intervensi asing, sebetulnya relatif ilusif. Faktor terbesar dan terpenting adalah dari dalam negeri, utamanya dari pemerintah pusat, bukan faktor asing atau faktor daerah. Faktor internal itu adalah masalah kesejahteraan, pemerataan, dan keadilan.

Ada dua institusi yang sangat penting untuk negeri yang berpenduduk besar dan berwilayah luas. Dua lembaga itu adalah lembaga militer (TNI) dan intelijen. Di negeri demokratis, dua lembaga ini hampir-hampir tak terpengaruh dinamika politik. Sedangkan, lembaga lainnya sangat dekat dengan dinamika politik.

Seiring pergantian pemerintahan, maka akan berganti pejabat, yang berasal atau ditunjuk oleh partai pemenang. Sedangkan, watak partai paling ekstrem adalah berpecah belah dan mengejar kepentingan partainya. Desain ini untuk membangun kompetisi, pergiliran, dan pengawasan, serta keseimbangan.

Adapun lembaga intelijen dan militer justru harus relatif steril, dan sejak dini, aparatusnya didoktrin sebagai pemersatu dan penjaga kepentingan nasional. Loyalitasnya hanya pada konstitusi dan ideologi negara. Karena itu, dua institusi ini adalah tumpuan harapan, yang berarti pula jika negeri ini kacau maka mereka pula yang paling bertanggung jawab.

Namun, kita menyaksikan bahwa para pemimpinnya sering ikut bermain politik pragmatis, terjebak pada perilaku koruptif, dan menjadi alat para pemodal bahkan dibina kepentingan asing. Bagi wartawan, bukan hal sulit untuk mendapatkan pergunjingan semacam itu.

Saat Uni Soviet runtuh, Putin sedang bertugas sebagai intel di Berlin Timur. Ketika negeri itu berubah menjadi Rusia, ia pulang dan bergabung dengan pemerintahan baru. Diam-diam, ia menghimpun intel-intel yang seide untuk membangun kekuatan politik. Ia pun mendirikan partai dan memenangkan pemilu. Putin dengan cepat mengembalikan marwah Rusia dan lepas dari boneka asing.

Kekuatan Cina adalah di tentara rakyat, demikian pula dengan Amerika Serikat yang memiliki intelijen dan militer yang kuat. Contoh kecil, Nixon jatuh akibat keterlibatan petinggi intelijen yang memandu wartawan The Washington Post dalam menginvestigasi kasus Watergate.

Sehatnya intelijen dan militer bukan untuk mengendalikan dan melakukan intervensi proses dan sistem demokrasi, tapi untuk menjadi pendulum agar bandul sejarah bergerak menanjak. Kita menunggu para idealis di militer dan intelijen untuk bergerak dan tak diam berpangku tangan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement