REPUBLIKA.CO.ID, Jika partai-partai Kristen, partai Yahudi yang menjadikan agama sebagai identitas dan definisi diri, tetapi tak satu pun dari mereka yang berbicara untuk Yudaisme atau untuk Kristenitas.
Di sini ironi berlaku, tulis Abou El Fadl, baik Arab Saudi, El Sisi, al-Azhar, dan ISIS, semuanya mengklaim berbicara untuk Islam. Akibatnya, banyak orang pintar yang membaca kejahatan dan kekejaman yang dilakukan ISIS sebagai wajah yang sebenarnya dari Islam politik.
Lain lagi dengan ungkapan Islam yang dipolitikkan (politicized Islam), seperti yang ditunjukkan El Sisi, al-Azhar, Arab Saudi, Dewan Kerja Sama Teluk, dan sekutunya. Bagi mereka, negara adalah Tuhan, tulis Abou El Fadl.
Agama didefinisikan dan diatur di ruang publik: mana yang termasuk keberagamaan yang baik sebagai lawan dari keberagamaan yang buruk. Mana pula yang diinginkan Tuhan dan mana pula yang tidak disukai-Nya.
Oleh sebab itu, taat kepada negara adalah kewajiban hukum dan moral, dan berserah diri kepada negara adalah sebuah kebajikan. Catatan saya: jika rintihan pedih Abou El Fadl ini dalam mengamati apa yang sedang berlaku di beberapa negara Arab adalah kenyataan yang sebenarnya, maka tingkat krisis peradaban Arab Muslim sudah tidak bisa ditolong lagi, kecuali ganti penguasa, bahkan ganti umat, seperti yang diisyaratkan Alquran, “Jika kamu berpaling [dari jalan kebenaran], Dia akan menggantimu dengan kaum lain, kemudian mereka tidak seperti kamu.” (QS Mu?ammad: 38). Allah yang lebih tahu!
Hal lain yang cukup menarik dan sebenarnya tidak terlalu mengejutkan adalah kaitan antara intelijen Saudi dengan ISIS, sebagaimana ditulis Abou El Fadl. Bukti menjadi semakin kuat bahwa ISIS adalah monster (makhluk raksasa yang menakutkan), dilepaskan ke dunia oleh intelijen Saudi dan sekutu-sekutunya dengan peran utama Pangeran Sultan bin Bandar.
Pada 2011, Arab Saudi dihadapkan kepada situasi yang mencemaskan. Teman-teman despotiknya di Tunisia dan Mesir telah terjungkal, dan Muammar Qadafi dari Libya terbunuh. Begitu juga rezim-rezim di Yaman, Bahrain, dan Suriah berada dalam pengepungan. Muncul spekulasi luas tentang rezim authoritarian lainnya akan mengalami nasib serupa.
Untuk mengantisipasi kemungkinan yang serba buruk itu, militer Saudi dan sekutunya melakukan intervensi keras di Bahrain untuk memukul perlawanan rakyat. Tujuannya untuk meyakinkan Gedung Putih akan perlunya sebuah kudeta demi mengembalikan rezim lama di Mesir.
Lagi peran Pangeran Bandar sangat besar dalam masalah ini. Salah satu target yang hendak diraih adalah agar militer Amerika siap melakukan intervensi untuk menumbangkan gerakan revolusioner dan melindungi rezim Saudi jika terancam, sekalipun bagi Amerika sendiri tidaklah mudah bertindak demikian. Maka kartu scary Islam (Islam yang menakutkan) lalu dimainkan oleh elite Arab yang aslinya memang pro-Barat, demi menarik perhatian pihak Barat agar mau terlibat.
Maka munculnya Abu Bakr al-Baghdadi, pemimpin ISIS, bukanlah suatu kebetulan, tulis Abou El Fadl. Dengan bersikap serba gagah dalam gaya Hollywood menyatakan dirinya sebagai Khalifah.
Permainan ISIS meledak dengan segala akibat buruknya di luar niat semula sehingga Saudi dan sekutunya merasa terancam oleh monster yang diciptakannya sendiri. Barat pada akhirnya mau juga terlibat melalui serangan udara atas pusat-pusat kekuatan ISIS di Suriah.
Situasi politik semakin tak terkendali. Polarisasi Sunni-Syi’i-Kurdi menjadi semakin tajam berkat dipicu oleh kelakuan ISIS. Seperti telah diketahui, munculnya ISIS sebagai sempalan Alqaidah di Irak dan banyak di antara perwiranya adalah mantan anggota militer Irak yang dilucuti pasukan Amerika pada Mei 2003. Awal kelahirannya adalah sebagai jawaban terhadap perkiraan pengambilalihan Irak oleh kelompok Syi’i di bagian selatan dan oleh pasukan Kudi di Irak utara.
ISIS telah meraih keberhasilan yang lumayan dalam situasi semangat revolusioner Arab yang berantakan yang dulu punya mimpi tentang kebebasan. ISIS juga berhasil membangkitkan kembali polarisasi lawas antara orang Sunni, orang Syi’i, dan orang Kurdi, antara orang Turki, Persi, dan orang Arab. Pun mereka berhasil lebih mengetepikan nasib rakyat Palestina, dan jangan lupa telah turut membantu Netanyahu terpilih kembali sebagai Perdana Menteri Israel.
Di akhir tulisannya, Abou El Fadl menghibur diri dalam nada lirih, “?urriya adalah hukum alamiah dari segala-galanya, dan seperti halnya kehidupan itu sendiri, ia pasti akan bertunas kembali. Bahkan ia bisa bertunas di saat teriknya musim panas yang meresahkan, saat ketenangan yang hangat musim gugur, atau saat pasrah sungguh-sungguh di musim dingin yang sangat dingin.”
Pendek kata, hurriya tidak mengenal kematian sepanjang zaman dalam kehidupan umat manusia. Aduh, El Fadl, kami menyertai mimpimu juga dalam kelirihan.