Selasa 19 Jul 2016 06:00 WIB

Jenderal Tito dan Reformasi Polri

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Pada 13 Juli 2016 Jenderal Tito Karnavian (1964--) resmi dilantik menjadi Kapolri mengggantikan Jenderal Badrodin Haiti yang memasuki masa pensiun pada 24 Juli ini. Karier Tito yang meroket ini disambut oleh publik dengan harapan besar agar proses reformasi dalam tubuh polri akan berjalan lebih lancar mengingat latar belakang pendidikan dan pengalaman  lapangan jenderal muda ini cukup fenomenal dan memadai. 

Kita menginginkan polri ke depan di samping memang profesional dalam menjalankan tugasnya, juga dicintai rakyat yang harus dilayaninya dengan bijak, tegas, santun, dan penuh pengertian. Sebagian rakyat kita masih belum punya disiplin sosial yang membanggakan. Polri tentu sudah faham masalah sikap kultural yang belum baik ini.

Kita tahu tugas kepolisian dalam masyarakat yang plural ini amatlah berat dan tidak jarang di antara anggota mereka yang stres, terutama yang bertugas dalam mengatur lalu lintas di tempat-tempat yang padat dan sering macet, plus hujan. Sungguh dalam situasi yang semacam ini diperlukan kesabaran tingkat tinggi dari anggota yang sedang bertugas. 

Seorang polisi di samping menguasai ilmu kepolisian yang standar, juga mesti memahami psikologi publik di tempat tugasnya di seluruh Indonesia dengan sub-kultur yang sangat beragam. Pembicaraan saya dengan berbagai kalangan kepolisian telah membawa saya kepada kesimpulan demikian itu.

Dari seorang mantan Kapolda yang pernah bertugas di suatu propinsi di Kalimantan, saya mendengar keterangan langsung bahwa rakyat setempat sangat mencintainya. Demikian dekatnya dengan rakyat, sehingga jenderal bintang dua ini tidak boleh meninggalkan propinsi itu, sekalipun masa tugasnya telah usai. Tentu saja harapan semacam ini tidak dapat dikabulkan, karena seorang jenderal polisi biasa punya mobilitas yang tinggi dalam mengemban tugas negara yang dipikulkan ke pundaknya. 

Seorang Tito misalnya sudah beberapa kali pindah posisi strategis, sebelum pada akhirnya bermuara menjadi Kapolri. Saat rombongan Jenderal Tito pada 31 Maret 2016 berkunjung ke Nogotirto, saya sudah bisikkan kepadanya: “Calon Kapolri.” Tetapi saya tidak membayangkan prosesnya demikian cepat, dengan melampaui beberapa generasi para seniornya. 

Selamat Jenderal Tito, wong kito segalo.

Reformasi polri sudah banyak dibincangkan. Jenderal Tito juga sudah berjanji untuk mempercepat proses reformasi itu. Sesungguhnya Polri sudah lama punya payung hukum dan payung moral sebagai pedoman dalam menjalankan tugas kenegaraan. Sebelum terbitnya UU No. 02 Thn. 2002 tentang Kepolisian, pada 1 Juli 1955 oleh Kapolri Jenderal R.S. Soekanto 

Tjokrodiatmodjo telah ditetapkan sebuah Tribrata Polri yang semula dirumuskan oleh Prof. Djoko Soetono berdasarkan warisan Jawa Kuno dalam bahasa Sanskerta bercampur dengan bahasa Indonesia yang agak sulit dimengerti oleh publik.

Agar mudah difahami, maka Tribrata itu berdasarkan Keputusan Kapolri No. Pol. 17VI/2002, tertanggal 24 Juni 2002, dirumuskan dalam bahasa Indonesia yang jelas sebagai berikut ini:

Kami Poliisi Indonesia:

1. Berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketaqwaan terhadap 

Tuhan Yang Maha Esa

2. Menjunjung tinggi kebenaran keadilan dan kemanusiaan dalam 

menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan 

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

3. Senantiasa melindungi mengayomi dan melayani masyarakat dengan 

keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban

Dalam pelaksanaannya dalam bentuk yang kongkret, Tribrata didampingi oleh Catur Prasetya yang berbunyi: Sebagai insan bhayangkara kehormatan saya adalah berkorban demi masyarakat bangsa dan negara untuk:

1. Meniadakan segala bentuk gangguan keamanan

2. Menjaga keselamatan jiwa raga harta benda dan hak asasi manusia

3. Menjamin kepastian berdasarkan hukum

4. Memelihara perasaan tenteram dan damai

Dengan pedoman Tribrata, Catur Prasetya, dan UU Tahun 2002 di atas, sesungguhnya landasan moral dan landasan hukum reformasi kepolisian sudah cukup kuat. Dan kultur yang kurang mendukung selama ini harus diubah secara bijak tetapi tegas dengan parameter yang terukur.

Tetapi mengapa proses reformasi masih tersendat-sendat, sehingga untuk memulihkan kepercayaan rakyat kepada polri ternyata tidaklah mudah? 

Isu-isu tentang rekening gendut, simulasi SIM, praktik setoran bawahan kepada atasan, praktik percukongan untuk menjadi polisi, jual beli perkara, prilaku berdamai seorang pengendara yang salah di jalan, dan berita tentang anggota polri yang tersangkut narkoba, misalnya, telah semakin melemahkan wibawa polisi. Akibatnya, hukum seperti dipermainkan 

dan rakyat kecil yang kehilangan speda motor misalnya menjadi frustrasi.

Dengan catatan ini, disertai kemauan yang kuat dan rasa percaya diri yang tinggi, reformasi kepolisian sangat mungkin dipercepat. Dan Jenderal Tito tentu lebih faham bagaimana strategi yang tepat untuk meraih tujuan besar itu: reformasi kepolisian untuk merebut kepercayaan rakyat. Polri sebagai bagian dari kultur bangsa yang sedang sakit sedang 

berlomba dengan waktu untuk segera berbenah diri: reformasi total dan radikal. Tito sebagai Kapolri baru dan muda sedang berada di tengah pusaran perubahan yang keritikal ini. Seluruh mata bangsa dengan tajam mengamati langkah terobosan apa yang akan diluncurkan oleh Kapolri kita ini. Kita semua menunggu dengan iringi do’a agar dia berjaya!

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement