REPUBLIKA.CO.ID, Dua petinggi negara pemegang otoritas penting mengadakan pertemuan dengan sejumlah orang. Pejabat pertama mengatakan bahwa aksi 411 dan 212 itu merupakan wake up call radikalisme Islam di Indonesia, sambil menegaskan bahwa komunisme sudah bukan ancaman lagi bagi Indonesia. Pejabat kedua menyebutkan bahwa semua rentetan itu merupakan bagian dari tahapan menuju kehancuran seperti yang menimpa Suriah. Dua kesimpulan dari dua pejabat itu sangat mengerikan. Bukan ngeri terhadap kesimpulannya, tapi ngeri terhadap kemampuannya menyimpulkan.
Dengan segala otoritas yang dimiliki, dengan segala sumberdana yang diberikan, dengan daya dukung kelembagaan dan sumberdaya manusia yang ada, semestinya mereka mampu menghimpun data secara lebih detil dan dalam. Mereka hanya fokus pada FPI dan MMI saja. Mereka juga hanya mengambil pernyataan-pernyataan yang sesuai untuk sampai pada kesimpulan itu. Cara menyimpulkan seperti ini sangat khas penguasa yang defensif. Jika hendak objektif, ada dua isu utama dari kejadian tersebut yaitu ada masalah dengan sila ketiga dan sila kelima Pancasila: persatuan dan keadilan sosial.
FPI dan MMI tak akan mampu menghimpun massa begitu banyak. Penyebutan FPI karena ada Rizieq Syihab dan Munarman. Sedangkan MMI karena ada Muhammad Al Khatthath. Tapi Al Khatthath bukanlah figur dominan pada gerakan itu. Yang lebih dominan adalah Bachtiar Nasir dan M Zaitun Rasmin serta jaringan ustaz muda. Keduanya jelas bukan FPI dan MMI. Karena itu, jika hanya FPI dan MMI maka paling banter mereka hanya mampu mengerahkan kurang dari sepuluh ribu orang. Lalu mengapa bisa hadir begitu banyak? Pemimpin itu seperti seorang sales marketing. Jika bisa membuat produk yang diterima umum, dipasarkan dengan cara yang tepat, dikemas dengan baik, dan memiliki jaringan pemasaran yang bagus maka produk itu akan laris di pasar.
Kesimpulan dua petinggi itu sebenarnya tak melulu mewakili pandangan pemerintah. Karena ada satu petinggi lain yang mencoba menetralisir dengan cara yang sangat halus. Intinya dia mengatakan bahwa agar proporsional dalam menangkap kejadian tersebut agar sampai pada kesimpulan yang objektif. Namun pandangan dua petinggi itu tampaknya yang akan dioperasionalkan menjadi tindakan-tindakan pemerintah. Walau aksi 212 diikuti oleh massa yang lebih banyak dan lebih damai dibandingkan dengan aksi 411, sebetulnya upaya penetrasi pemerintah ke ormas-ormas Islam utama dan ke tokoh-tokoh Islam utama relatif berhasil. Karena itu aksi 212 tak diikuti oleh unsur yang lebih banyak dibandingkan dengan aksi 411.
Pernyataan dua petinggi tersebut merupakan kelanjutan belaka dari ‘keberhasilan’ mensortir pihak-pihak pada aksi 212. Dengan cara itu maka diharapkan gerakan ini akan mengecil dan menyisakan FPI dan MMI. Akhirnya kesimpulan bahwa 411 dan 212 sebagai wake up call radikalisme mendapatkan legitimasinya. Kesimpulan ini sebetulnya sangat mirip dengan suara-suara netizen yang sejak awal mencoba menghadang gerakan GNPF MUI di dunia maya. Namun upaya itu gagal. Dunia maya dikalahkan oleh dunia nyata. Penyangkalan di realitas cyber berhenti di hadapan realitas sosial. Upaya mengakomodasi elite dianggap angin lalu oleh akar rumput. Gerakan 411 dan 212 bukan semata soal Ahok, tapi ada perasaan umum ketidakpuasan publik. Inilah energi yang sesungguhnya. Ada perubahan sosial yang menuntut perubahan ekonomi dan politik.
Namun, apapun, upaya penyortiran dan penyisiran yang diikuti stigmatisasi dan politik kata-kata lainnya menghadirkan satu pertanyaan, apakah gerakan 411 dan 212 itu akan punah?
Mari kita lihat fakta-fakta ini. Penangkapan banyak orang yang diduga terlibat penggerebekan sebuah kafe di Solo. Pengaduan dugaan penistaan agama terhadap Rizieq Syihab. Respons aparat terhadap akun sosmed yang menyebutkan bantuan sebuah lembaga kemanusiaan dari Indonesia yang diduga ditujukan ke pemberontak Suriah – lembaga kemanusiaan itu disebut-sebut dipimpin oleh Bachtiar Nasir. Rumor penghadangan terhadap Rizieq yang akan ke Medan. Pemeriksaan pemilik bus yang membawa rombongan aksi 212. Secara simetris juga ada fenomena rutin tahunan setiap menjelang Natal: penangkapan terduga teroris. Berita seperti ini yang bertubi-tubi bisa membangun persepsi tertentu. Bisa melumerkan ataupun bisa makin mengkristalkan keadaan.
Pada sisi lain, eksponen 411 dan 212 juga memelihara stamina publik dengan mengadakan roadshow ke berbagai daerah di Indonesia. Sedangkan di kubu sebelah makin jelas terlihat bisik-bisik melawan gerakan 411 dan 212 dengan kata-kata “at all costs” akan dihadapi. Dua pihak sudah on fire. Kita berharap tak terjadi ‘Tragedi Priok Jilid II’. Tragedi 1984 itu juga diawali ketidakpuasan santri terhadap keadaan. Lalu dihadapi dengan stigmatisasi “ekstrem kanan”. Hal itu tak membuat surut namun justru makin mengeras dan berujung pada tragedi berdarah.
Menyebut tragedi 32 tahun lalu bukan hendak menakut-nakuti apalagi memanas-manasi. Tapi justru kita harus belajar dari sejarah. Jika tidak ada upaya khusus maka arus sosial itu mengalir secara begitu saja. Arus sosial itu seperti api dalam sekam, seperti magma di perut gunung: hidup menghimpun energi. Seperti kata Iwan Simatupang, sastrawan: tidak ada masyarakat yang diam.