REPUBLIKA.CO.ID, Saya berinteraksi dengan almarhum KH Ahmad Hasyim Muzadi sudah cukup lama. Saya memanggilnya Abah, sebagaimana keluarga dan lingkungan terdekat memanggilnya. Saya juga kenal baik dengan istri dan anak-anak beliau.
Kedekatan saya dengan Abah, pertama, karena kami sama-sama alumnus Pondok Modern Gontor. Ia merupakan senior saya di pesantren yang terletak di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur itu. Kedua, hubungan antara kiai dan santri. Dalam arti saya banyak berguru kepada almarhum. Tentang banyak hal. Dari soal politik, ketata-negaraan, sosial, budaya, keagamaan, hingga ilmu sirep dan cara menaklukkan makhluk halus. Semua itu seringkali disampaikan dengan selingan humor-humor menyegarkan khas para kiai NU. Bahkan untuk urusan ger-geran ini, Abah merupakan jagonya. Termasuk ketika berbicara kepada audiens asing.
Saya mengukur kepandaian seseorang berbahasa asing apabila yang bersangkutan sudah mampu membuat gerrr audiens saat ia menyampaikan joke. Abah Hasyim salah satunya. Meskipun tidak pernah belajar di universitas di luar negeri, namun almarhum sangat menguasai bahasa Arab dan Inggris.
Dalam beberapa kali mengikuti lawatan beliau ke negara-negara Arab dan Eropa, beliau telah berhasil memukau para lawan bicaranya. Mereka tertawa atau tersenyum simpul manakala Abah membuat humor. Tentu saja dengan bahasa Arab atau Inggris yang agak medok. Maklumlah ia hanya produk dalam negeri. Menurutnya, ia belajar bahasa Arab dan Inggris cukup di Pondok Gontor. Lalu ia lanjutkan secara otodidak.
Hal lain yang saya kagumi dari Abah adalah kemampuannya menyirep orang saat berpidato. Saat berceramah, audience dibuat hening. Istilahnya, jarum jatuh pun terdengar. Namun, saat audiens dilihat mengantuk atau kurang konsentrasi, mereka pun dibuat gerrr dengan humor-humor yang segar.
Pidato Abah sering tanpa teks namun tetap pada konteks. Bahasanya runut, jelas, dan tegas. Istilah jurnalistiknya, pidato beliau layak kutip tanpa banyak edit. Tidak mbulet. Audience pun dibuat kuat mendengarkan pidato beliau tanpa bosan hingga dua atau bahkan tiga jam.
Ketika saya tanyakan apa rahasianya dapat menyirep audience? Abah sedikit membuka rahasia: Ilmu Nabi Daud! ‘’Kalau yang ini sampeyan belum waktunya. Belum kuat.
Suatu saat nanti sampeyan akan tahu sendiri bagaimana mengamalkan ilmu Nabi Daud AS,’’ kata Abah.
Nabi Daud dikenal sebagai tokoh kharismatik. Suaranya indah nan merdu. Semua orang rindu untuk mendengarkan suara Sang Nabi. Bahkan daun-daun yang jatuh akan berhenti di udara dan besi pun menjadi lunak demi mendengarkan suara Nabi Daud. Hingga Abah Hasyim wafat beberapa hari lalu, terus terang saya belum tahu apa dan bagaimana ilmu Nabi Daud itu. Apapagi cara pengamalannya.
Relasi saya dengan almarhum juga semakin dekat lantaran hubungan antara wartawan dan narasumbernya. Hingga sebelum Abah sakit, saya masih menyimpan beberapa nomor ponsel yang langsung terhubung dengan beliau.
Ketika Abah masih menjadi Ketua Umum PBNU dan saya pemimpin redaksi Republika, beberapa kali saya juga dilibatkan dalam delegasi PBNU ke luar negeri. Antara lain misi PBNU untuk mendamaikan umat Islam di Thailand Selatan dengan pemerintah pusat ketika perdana menterinya Thaksin Shinawatra. Juga kunjungan delegasi PBNU ke Iran dalam rangka taqrib baina al mazahib (mendekatkan antarmazhab), misi perdamaian ke Suriah dan Lebanon.
Saya juga beberapa kali bertemu dengan Abah dalam delegasi Interfaith Dialogue Direktorat Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI ke beberapa negara. Acara yang melibatkan para tokoh berbagai agama ini dimaksudkan sebagai soft diplomacy untuk mempromosikan kerukunan umat beragama dan demokrasi di Indonesia. Dua hal yang Abah Hasyim merupakan pakarnya.
Menurut Abah, kerukunan umat beragama bisa tercipta apabila ada respek. Sikap saling menghormati antar-pemeluk agama yang berbeda. Ia pun tidak setuju jika dikatakan semua agama sama baiknya. Bila ini yang terjadi justru akan membingungkan, terutama bagi anak-anak.
Yang benar adalah setiap pemeluk agama harus meyakini agamanyalah yang paling baik dan benar. Dalam Islam dikatakan inna ad dina ‘indallahi al Islam (sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam). Namun, pada waktu yang sama setiap pemeluk agama harus menghormati orang lain yang meyakini agamanyalah yang paling baik dan benar. Inilah, menurut Abah, kunci kerukuman umat beragama. Dalam hal bermuamalah mereka harus bekerja sama. Namun, dalam soal akidah masing-masing tidak boleh saling mencampuri/intervensi.
Bagi Abah Hasyim, Indonesia yang diikat dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika merupakan contoh terbaik buat negara yang masyarakatnya plural. Multietnis, ras, golongan, dan multiagama. Termasuk tempat belajar yang baik bagi para pelajar dan mahasiswa dari negara-negara tersebut. Hal inilah yang juga disampaikan Abah ketika berkunjung ke Grand Mufti Rusia Ravil Gainutdin beberapa tahun lalu. Grand Mufti mengeluhkan, anak-anak muda Islam Rusia yang dikirim belajar ke Timur Tengah, ketika lulus dan pulang ke negaranya pada umumnya sangat eksklusif. Tertutup. Mereka sepertinya ingin ‘memindahkan’ kehidupan masyarakat Timur Tengah yang keras ke masyarakat Rusia.
KH Hasyim Muzadi menyampaikan, untuk masyarakat pluralis seperti Rusia, belajar Islam yang paling baik adalah ke Indonesia. Alasan Kiai Hasyim, Rusia adalah negara plural seperti Indonesia. Bedanya, mayoritas penduduk Indonesia Muslim, sedangkan mayoritas warga Rusia Kristen Ortodoks. Dengan begitu, katanya, para mahasiswa Rusia yang belajar Islam di Indonesia tidak akan canggung lagi ketika pulang ke negaranya.
Bila mahasiswa Rusia belajar Islam ke Timur Tengah, terutama yang monoagama, Kiai Hasyim khawatir setelah belajar sekian tahun dan kemudian pulang ke negaranya mereka akan melihat permasalahan di masyarakat hanya dengan hitam-putih, halal-haram, boleh-tidak, dan seterusnya. Padahal, menurutnya, dalam berdakwah seseorang harus lebih bijaksana. Tidak bisa melihat segalanya dengan serba hitam-putih.
Kini berkat peran dan pendekatan Abah Hasyim telah banyak para pemuda Islam dari Rusia, Thailand, dan beberapa negara eks komunis di Eropa Timur yang belajar di UIN dan sejumlah pesantren di Indonesia. Harapannya, ketika kembali ke negara masing-masing mereka akan mendakwahkan Islam yang moderat, teleran, dan rahmatan lil alamin. Tujuannya, agar tercipta perdamaian dunia.
Bagi Kiai Hasyim, manusia diciptakan di dunia mempunyai misi mulia. Sebagai khalifah untuk memakmurkan dunia seisinya. Tidak boleh saling menghancurkan. Bahkan terhadap makhluk halus sekalipun. Apalagi hanya beda agama.
Pernah waktu kami di Austria, Abah Hasyim diminta tidur di wisma Indonesia. Bukan di hotel. Wisma ini telah lama tidak dihuni lantaran belum ditunjuk duta besar yang baru. Konon wisma ini ditunggu oleh makhluk halus yang suka mengganggu. Abah lalu mengajak saya.
Sambil minum teh sebelum tidur, Abah pun bertutur. Yang berbahaya itu bukan makhluk halus sebangsa jin, setan, iblis dan semacamnya. Sebagai khalifah sang pengatur, asal kita percaya tidak bisa diganggu, mereka pun tidak akan mengganggu kita. Yang berbahaya itu justru iblis dan setan berbentuk manusia. Jiwa manusia yang sudah dirasuki setan itulah yang justru menimbulkan permusuhan dan menghancurkan kehidupan.
Diiringi berbagai bacaan surat-surat pendek Alquran, malam itu kami pun lelap tidur hingga pagi hari. Saya dengar, wisma itu pun kini tidak angker lagi.
Semoga segala amal almarhum diterima Allah SWT dan semua dosanya diampuni. Amin.