REPUBLIKA.CO.ID, Pilkada DKI Jakarta seperti membuka kotak pandora. Semua keluar. Seperti kata Max Lane, Indonesia adalah bangsa yang belum selesai. Indonesia adalah bangsa baru. Sebelum tahun 1945, belum ada Indonesia. Memang benihnya mulai disemai sejak 28 Oktober 1928, namun baru bertunas pada 17 Agustus 1945. Setelah itu kita terus berkutat jenis pohon apa yang hendak tumbuh. Ada upaya untuk okulasi dengan beragam teknik, tapi baru pada 1998 kita bisa memutuskan untuk membiarkan pohon itu tumbuh seperti saat kita semai. Tak perlu okulasi.
Pohon Indonesia itu kini mulai meninggi, bercabang, dan menguat. Belum sampai pada tahap berbunga dan berbuah. Masih harus membuang rumput, memangkas ranting yang tak perlu, membuang benalu, menyingkirkan hama. Dan juga memupuknya. Pilkada DKI semacam katalisator. Ia memunculkan hal-hal yang harus diselesaikan itu. Ada bicara hubungan agama dan negara, ada membicarakan hakikat sila ketuhanan, ada membicarakan hakikat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, ada membicarakan sejarah ras Arab dan Tionghoa, ada membicarakan hakikat ekonomi konstitusi dihubungkan dengan realitas kehidupan ekonomi saat ini yang njomplang, ada membicarakan hubungan Indonesia dengan negara-negara lain yang bersaing memperebutkan pasar dan sumberdaya alam Indonesia. Namun, semua itu cuma diperlihatkan, tak ada upaya mendudukkannya secara benar. Airnya terlalu keruh, kolamnya penuh sampah. Tak sempat kita bisa duduk tenang untuk menyelesaikannya.
Yang muncul hanyalah pertarungan di level teknis: menjernihkan air dan meminggirkan sampah. Pilkada DKI Jakarta demikian keras dan panas. Ada partai yang membuat instruksi kepada seluruh kadernya di seluruh Indonesia untuk memenangkan kandidat yang didukungnya. Lho kok begitu? Ini Pilkada DKI atau Pilkada Indonesia di DKI? Di dunia medsos juga demikian. Sejumlah orang yang paling lantang justru tak memiliki hak pilih di DKI. Kok bisa? Ya bisa saja.
Di putaran pertama, yang dilakukan 15 Fabruari 2017, Ahok-Djarot meraih suara terbanyak. Disusul Anies-Sandi dan Agus-Sylvi. Masing-masing meraih 2.364.577 suara (42,99 persen), 2.197.333 suara (39,95 persen), dan 937.955 suara (17.07 persen). Cukup tipis selisih suara Ahok-Djarot dan Anies-Sandi, yaitu 167.244 suara. Pada pemilihan putaran pertama ini, berdasarkan angka Daftar Pemilih Tetap (DPT) ada 7.108.589 yang berhak memilih. Selain itu juga ada pemilih tambahan yang tak terdaftar di DPT namun kemudian ikut mencoblos pada Hari-H yaitu disebut Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) yang berjumlah 237.003 orang. Angka DPTb ini melonjak sangat drastis dibandingkan DPTb yang diumumkan sebelumnya, yaitu cuma 57.763 orang. Mereka yang tak terdapat dalam DPTb bisa datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) asal membawa KTP elektronik, Kartu Keluarga, atau surat keterangan yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI.
Kita bisa melihat fakta bahwa selisih suara antara Anies-Sandi dan Ahok-Djarot masih lebih kecil dibandingkan pemilih DPTb.
Soemarsono, pejabat gubernur DKI, berucap tahun 2017 ini dilakukan pilkada serentak di Indonesia. Namun, ternyata hanya DKI yang paling kacau data kependudukannya. Tentu saja ini mengherankan karena sudah ada KTP elektronik dan Jakarta sebagai ibu kota negara. Pada tahun lalu, gubernur DKI pernah menyatakan bahwa pembuatan KTP di DKI tak perlu rekomendasi dari RT dan RW. Tapi bisa langsung ke kelurahan. Hal ini tentu mengurangi kontrol publik. Pada sisi lain di DKI ini banyak pendatang dan di antara mereka banyak yang memiliki KTP ganda, selain KTP di daerah asalnya. Mereka bisa para pencari nafkah di ibu kota, pendatang baru, ataupun orang yang sering wara-wiri Jakarta dan punya apartemen atau rumah tinggal di Jakarta selain rumah di kampungnya.
KPUD DKI sudah mengumumkan daftar pemilih sementara (DPS) untuk putaran kedua. Ada tambahan 156 ribu pemilih dibandingkan dengan DPT pada putaran pertama. Ini berarti belum semua yang masuk DPTb putaran pertama masuk di DPS putaran kedua. KPU juga sudah membuat edaran bahwa pada putaran kedua, pemilih yang tak terdaftar di DPT maupun DPTb bisa langsung ke TPS tanpa harus membawa kartu keluarga. Jadi cukup membawa KTP atau surat keterangan.
Di putaran pertama ada dua fakta menarik pada hari pencoblosan. Pertama, munculnya orang-orang yang menggiring pemilih ke TPS. Mereka adalah orang-orang yang tak ada dalam DPT maupun DPTb. Sebagian menimbulkan gesekan dan konflik, bahkan ada yang terkencing-kencing. Kedua, munculnya antrean panjang di sejumlah TPS, terutama yang di mall. TPS yang mestinya tutup pada pukul 13.00 menjadi diperpanjang hingga selesai. Ada TPS yang molor hingga pukul 15.00. Sedangkan berdasarkan analisis perolehan suara muncul perolehan suara yang fantastis di ratusan TPS di Jakarta Barat dan Jakarta Utara, dua wilayah yang menjadi basis utama pemilih Ahok. Berdasarkan data yang dikeluarkan PolMark yang berasal dari data di KPUD DKI, Ahok-Djarot menang mutlak di 489 TPS (259 di Jakarta Utara, 220 di Jakarta Barat, dan 10 di Jakarta Pusat), dengan kemenangan di tiap TPS rata-rata 96 persen. Dari 489 TPS tersebut, Ahok-Djarot mampu meraih selisih suara dari Anies-Sandi hingga 205.007 suara. Bandingkan dengan selisih suara kedua pasangan ini untuk seluruh DKI yang 167.244 suara.
Persoalan ini diperkirakan akan makin kuat di putaran kedua. Namun, akan bergeser ke wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Tingkat gesekannya diperkirakan akan makin keras. Karena di dua wilayah ini tak gampang menemui wilayah yang homogen seperti di Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Homogen dalam arti kelas sosial, etnik, dan politik/keagamaan. Memang di Jakarta Selatan relatif homogen dalam sisi agama, yaitu Islam. Namun berdasarkan riset Pusat Data Bersatu (PDB), pemilih Muslim yang memilih Anies-Sandi hanya 53 persen. Hal ini berbeda dengan pemilih nonmuslim yang memilih Ahok-Djarot yang 86 persen.
Karena pluralitas pemilih di Jakarta Selatan yang seperti itu maka potensi konflik akan lebih tinggi. Aturan tentang pemilih tanpa perlu kartu keluarga dan cukup berdasarkan surat keterangan atau KTP akan menimbulkan sebagian orang terbengong karena mereka akan mendapati pemilih yang tak dikenal. Apalagi tingkat partisipasi pemilih pada putaran pertama baru 74,87 persen, masih banyak peluang karena masih banyak surat suara yang belum terpakai. Namun hati-hati untuk menyelundupkan pemilih palsu, karena pemilih terdaftar dengan pemilih potensial hanya selisih sekitar 50 ribu orang. Tentu akan aneh jika pemilih DPTb plus pemilih yang masuk DPT melebihi pemilih potensialnya.
Kompetisi sekeras apapun akan tetap damai jika wasit dan negara berlaku adil dan tak terlibat. Pertandingan sepanas apapun akan adem jika kita berpijak pada nilai-nilai luhur yang sama. Justru karena persoalan nilai-nilai bersama ini yang belum tuntas maka persoalan pertama bisa terjadi. Tak salah jika bangsa Indonesia selalu merindukan Ratu Adil, karena bangsa-bangsa terbelakang menjadi maju karena hadirnya pemimpin yang baik. Jika kita terus kisruh maka itu pertanda belum hadirnya pemimpin yang baik. Kita harus terus mencarinya.