REPUBLIKA.CO.ID, Media sosial kembali ramai dengan video viral aksi bully yang dilakukan sekelompok mahasiswa Gunadarma terhadap teman satu jurusan, yang mereka sebut ABK atau Anak Berkebutuhan Khusus, penyandang autis.
Tas korban ditarik seseorang dari belakang, dua lainnya ikut menggoda, sedangkan belasan mahasiswa di sekitar hanya diam menyaksikan.
Sekalipun berdurasi kurang dari 10 detik, begitu banyak keprihatinan nilai moral yang bisa kita tangkap.
Pertama, tindak perpeloncoan dilakukan oleh mahasiswa. Seharusnya kata maha yang berarti ‘paling’ mengacu pada kedewasaaan dan intelektual tinggi. Bukan sebaliknya.
Kedua, pengetahuan akan keterbatasan seseorang seharusnya melahirkan empati, keinginan membantu bukan menyakiti yang terjadi sebaliknya. Terlebih, rupanya sang korban sebenarnya bukan ABK seperti yang dilabelkan. Artinya ada dua kelompok yang disakiti, si korban dan keluarga besar ABK Autis yang dijadikan label.
Ketiga, ini terjadi di kampus yang harusnya menjadi pusat pemberdayaan intelektual. Bahkan beberapa mahasiswa lain yang tidak terlibat, menyaksikan dengan tenang tanpa merasa perlu bertindak.
Jika semua fakta ini digabung, maka timbul pertanyaan besar, bagaimana mengatasi kemerosotan moral bangsa ini?
Lalu video miris yang tersebar lainnya adalah bentuk penindasan yang dilakukan sembilan anak SMP dan SD, dua lelaki dan tujuh perempuan, kepada seorang siswi Sekolah Dasar di Thamrin City.
Awalnya, rambut korban ditarik, hingga tubuhnya terseret-seret, kemudian menerima beberapa kali pukulan tangan. Dua anak paling agresif melakukannya, satu lelaki dan satu perempuan. Sisanya menonton dan mengambil gambar, pun ada yang sesekali ikut melayangkan pukulan serta tendangan.
Meski sudah membuat hati ini ngilu, fakta di atas ternyata belum seberapa. Yang lebih luar biasa adalah, dua pelaku paling dominan dalam video tadi meminta sang korban untuk mencium tangan mereka, sebagai simbol rasa hormat. Jadi bukannya timbul perasaan bersalah atau bahkan iba melihat korban tunggal yang kesakitan hingga keduanya memutuskan segera meminta maaf, justru anak-anak itu menuntut penghormatan.
Tapi, ini pun belum apa-apa dibanding adegan selanjutnya. Kedua anak anarkis tersebut lalu memerintahkan sang korban untuk sujud di kaki mereka.
Astaghfirullah.
Sebagai warga negara sekaligus seorang ibu, tak dapat dipungkiri batin ini perih menyaksikan ulah anak-anak tersebut. Mereka ini calon penerus negeri. Namun, ternyata masih ada yang membuat dada semakin bergemuruh. Kedua titan kecil tersebut bahkan meminta semua adegan direkam dalam kamera. Artinya bagi mereka, ini adalah sebuah kebanggaan, prestasi yang layak diabadikan, menjadi bukti senioritas agar dianggap bukan anak sembarangan. Tidak terlihat rasa bersalah, atau takut.
Ke mana menguapnya moral ananda kita? TIdakkah mereka dibesarkan dengan kaaih sayang? Mungkinkah justru tanpa disadari kita secara perlahan mewariskan kebahagiaan ‘menindas’ itu?
Berbagai macam bentuk bullying kenyataannya dekat dengan kita, berlangsung di antara keluarga dan kerabat.
Baru-baru ini saya menemukan seorang mahasiswi berprestasi tengah menangis. Bukan karena prestasi yang menurun tapi sebab ia baru saja mendengar komentar menyakitkan dari sang bibi tentang berat badannya. Walau tidak kurus, mahasiswi tersebut tidak termasuk overweight.
“Waktu dulu seumur kamu, berat Bibi 4 kg lebih kurus.”
Kalimat yang disampaikan dengan penuh rasa kemenangan.
Lucunya, sang bibi sama sekali bukan sosok yang patut menjadi contoh dalam kehidupan. Ia mempunyai tiga anak dari tiga pria berbeda di usia muda, namun bisa dengan santai membanggakan diri di depan mahasisiwi berprestasi hanya karena fisiknya yang lebih kurus dulu. Kenyataan memang, gajah di pelupuk mata sering tidak terlihat.
Padahal ada beberap hal sensitif yang tidak boleh ditanya atau dibahas terkait perempuan. Pertama, usia, berapa berat, status yang lebih ke pertanyaan kenapa belum menikah, kenapa belum ada momongan.
Hal-hal di atas tidak perlu disinggung apalagi jika hanya demi memuskan keingintahuan. Sebagian besar wanita susah payah berjuang ke arah sana. Tanpa dikomentari pun sudah cukup berat. Melukai orang lain dengan pertanyaan dan komentar yang tidak sepantasnya termasuk tindakan bully.
Suatu hari Taylor Swift pernah ditanya, bagaimana mungkin ketika usianya 13 tahun sudah berani datang ke studio, menawarkan diri dengan rekaman takut ditolak. Jawabannya sederhana.
“Because I knew I could never feel the kind of rejection that I felt in middle school. Because in the music industry, if they're gonna say no to you, at least they're gonna be polite about it.”
Setidaknya dalam industri musik mereka menolak dengan sopan, tidak seperti penolakan (bully) yang dialami di sekolah.
Seorang muslim sepatutnya menjadi sumber kedamaian. Pihak yang tidak mampu menikmati kekerasan, walau hanya bentuk lisan.
Sebab Islam yang kita yakini adalah Rahmatan lil alamin.