REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Suatu hari, saya diundang menghadiri sebuah premier film bergenre Islami atau film dakwah. Begitu selesai menonton, saya kecewa, marah, dan juga sedih.
Kecewa karena jauh dari ekspektasi. Marah, karena seperti membuang waktu sebab nyaris tidak mendapat sesuatu yang berharga. Sedih, lantaran saya berharap tayangan tersebut bisa memberi warna baru dalam perfilman Indonesia.
Begitu berbekasnya rasa kecewa membuat saya tidak bisa tidur dan memutuskan menyalurkan kegelisahan. Malam itu juga saya menulis sebuah ulasan di blog pribadi.
Tak berapa lama, seorang kawan yang bekerja di sebuah media perfilman menelepon, dan meminta izin mengutip, lebih tepatnya memindahkan review tersebut, untuk media yang dikelolanya.
Saya tidak langsung setuju dan meminta jeda waktu. Setelah merenung cukup lama, saya mantap menghapus ulasan itu dan menyatakan keberatan jika tulisan saya dikutip. Sebelum sempat viral, postingan saya benamkan dan hilang tanpa banyak yang sempat membaca.
Saya punya alasan tersendiri melakukannya. Cukup lama saya merenungi lagi apa alasan membuat tulisan tersebut. Agar film yang membawa nilai kebaikan juga menjaga mutu, tidak sembarangan membuat karya, tentu. Tapi kali ini saya mencoba mempertimbangkan pengaruh lain. Bagaimana jika opini saya justru membuat film Islami itu tidak diminati dan akhirnya mematikan film yang membawa pesan kebaikan?
Saya mulai dihinggapi keraguan. Kembali mempertimbangkan mereka—berbagai pihak yang sudah membuat film baik—yang pasti menghabiskan miliaran untuk mewujudkan karya layar perak tersebut. Jika sepi penonton, produser akan merugi dan akhirnya kapok memproduksi film bernuansa dakwah. Makin lama dipikirkan, makin kental keraguan saya.
Namun, di satu sisi saya tetap merasa harus menyampaikan evaluasi, meski berharap tujuan tercapai tanpa membahayakan promo film. Kemudian hari, saya bisa memberi input langsung kepada mereka yang terlibat. Menyapa via email, aplikasi chat, dan sebagainya. Dengan begitu saya berharap pihak-pihak bersangkutan mendapat bahan untuk memperbaiki diri tanpa saya berperan merusak sebuah film baik.
Atas pertimbangan itulah akhirnya entri di blog saya hapus, agar tidak lebih banyak pihak membaca dan mengutipnya. Tak berapa lama, saya mendapat kabar film yang dimaksud sukses di pasaran dan menjadi salah satu penggerak banyak film Islami. Apa yang saya lihat sebagai kekurangan, tidak dirasakan oleh publik. Saya bahagia dengan keputusan yang telah diambil.
Cerita di atas, merupakan salah satu episode yang saya lewati dalam kehidupan bersosial media. Betapa kita harus mempertimbangkan bebagai aspek sebelum mempublikasikan sesuatu, entah itu tulisan, ujaran, komentar, atau penyebaran berita.
Akan tetapi, adab di sosmed seperti raib. Seolah tidak ada etika. Benar, aturan hukum tidak bisa menjerat semua hal negatif yang beredar di internet, akan tetapi Islam mengatur segala hal dalam kehidupan, termasuk interaksi di dunia maya.
Sekecil apa pun kesalahan yang kita perbuat, bahkan sekadar ikon yang menyakitkan, akan ada hitungannya di akhirat. Aparat mungkin tidak bisa meretas hacker atau mengungkap manusia di balik akun palsu, tapi Allah tidak pernah luput menyaksikan setiap perilaku hamba-Nya.
Dalam Islam, menyakiti hati siapa pun tetap dilarang. Entah kaya atau miskin, orang biasa atau selebritis, semua memiliki hak untuk diperlakukan secara santun.
Saya melihat bagaimana seorang artis dihujat serta dicemooh di hari pernikahannya hanya karena tata rias dan hal yang sepele. Apa yang diributkan sama sekali tidak esensial. Mengapa pula harus merusak kebahagiaan seseorang? Apa sulitnya menyampaikan hal-hal baik yang memberi semangat, tanpa perlu memperturutkan syahwat lisan?
Pun tak jarang menimpa sosok yang dikenal publik, dia dicaci dan diumpat hanya karena salah memposting sesuatu. Bukan sekadar deretan nama hewan yang disebut, tapi juga ungkapan organ reproduksi dengan bahasa tidak beradab dilayangkan.
Padahal sosok tersebut, selama ini dikenal rajin mengunggah hal-hal yang selalu positif. Bahkan setelah sang tokoh minta maaf pun, hujatan tidak lantas berhenti. Seolah menyakiti hati orang lain menjadi sumber kebahagiaan.
Lain hal jika sosok tersebut memang rutin melakukan kesalahan. Mungkin perlu diingatkan secara tegas. Tapi ketegasan tidak berarti meninggalkan akhlak atau tata krama.
Manusia tempatnya salah, jika salah maka bersegeralah taubat dan meminta maaf. Sebagaimana yang lain, saya pun pernah melakukan kesalahan dalam bersosial media, semoga berkenan memaafkan, jika ada pihak yang tersakiti.
Adab di media sosial sebenarnya sederhana. Pertama, tempatkan diri kita di posisi orang lain, maukah diperlakukan persis sebagaimana kita menyikapi orang lain?
Kalimat kotor jika pernah dilontarkan, terbayangkah andai posisi di balik, dan kitalah yang menjadi tujuan hujatan dan makian tersebut? Jika kita merasa tidak akan menyukainya, maka jangan lakukan kepada orang lain.
Kedua, jujur terhadap diri sendiri. Beranikah kita tampil dengan nama asli, akun asli, sehingga bertindak seperti semestinya manusia. Bukan bayangan atau akun palsu yang berlindung di balik topeng agar bisa berbuat sesuka hati tanpa memikul tanggung jawab?
Ketiga, tempatkan posisi kita dalam dunia nyata. Cukup bernyali besarkah mengutarakan langsung, dengan lantang, apa yang kita katakan di sosial media saat menyebut seseoang? Jika berani, mungkin kita memang menyatakan apa yang diyakini. Jika takut, maka sikap kita seperti pengecut yang hanya berani bersembunyi di balik layar monitor.
Keempat, baca lengkap jangan cuma judul. Merasa hinalah jika kita menilai utuh suatu tulisan hanya dari sederet tajuk yang berseliweran, lebih parah jika sampai menghakimi penulis atau yang mengunggahnya, tanpa membaca tuntas informasi tersebut. Lalu, bersikap kritis dan curiga terhadap berita sehingga terhindar dari hoax. Ini juga menjadi pelajaran bagi saya pribadi.
Semoga kita semakin dewasa dalam beraktivitas di jejaring sosial. Karena, sekalipun terlihat maya, tapi sakit hati yang diakibatkan nyata, dampak kerusakan pun nyata.
Berlindunglah kepada Allah, agar tidak menjadi sebab rusaknya bangunan kebaikan yang sudah diperjuangkan seseorang selama belasan bahkan puluhan tahun, hanya karena prasangka atau memvonis terlalu dini.