Selasa 03 Apr 2018 09:41 WIB

Indonesia Bubar? (1)

Dalam perjalanannya, negara tidak mampu mengawasi kelakuan modal asing.

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Anak bangsa ini memang mudah heboh dan gaduh ketika mendengar pernyataan seorang tokoh partai: Indonesia akan bubar pada 2030! Padahal, pernyataan itu hanyalah berdasarkan novel Ghost Fleet, karya fiksi dua penulis Amerika.

Saya tidak tahu mengapa karya yang hanya selintas menyinggung Indonesia telah bikin geger bangsa ini. Apakah memang kita sedang menyembunyikan perasaan cemas tentang hari depan Indonesia? Saya sendiri memang pernah pula mengatakan bahwa jika kita tidak hati-hati dan gagal mengelola keragaman Indonesia yang kaya ini, tidak tertutup kemungkinan bahwa bangsa ini akan masuk museum sejarah pada suatu hari.

Pernyataan-pernyataan sejenis ini sesungguhnya adalah peringatan, khususnya kepada elite politik yang belum juga mau naik kelas menjadi negarawan. Energi mereka ini habis terkuras untuk “berebut tulang”, apakah itu mengakali APBN/APBD, BUMN/BUMD, dan sumber-sumber negara lainnya.

Mentalitas parasit semacam itulah yang merusak tatanan demokrasi kita yang memang belum menemukan bentuknya yang pas, sekalipun telah mengalami uji coba berkali-kali: DL (Demokrasi Liberal, 1945-1957), DT (Demokrasi Terpimpin, 1959-1966), DP (Demokrasi Pancasila, 1966-1998), DTN (Demokrasi Tanpa Nama, 1998-sekarang).

DL dinilai tidak berhasil membangun sistem demokrasi yang sehat karena dominasi partai politik demikian kuat, lalu digantikan dengan DT sekitar enam tahun. DT pun gagal menerjemahkan mimpi besarnya dan kemudian berakhir dengan prahara nasional berupa ledakan G-30-S/PKI dan reaksi terhadapnya yang menelan korban yang tidak sedikit.

Kekuasaan pencipta DT pun turut larut dilanda angin topan perubahan yang tak terbendung, sedangkan pemikiran-pemikiran besarnya yang autentik bertahan sampai hari ini karena memang disarikan dari pengalamannya sebagai bapak bangsa dan negara dalam berbagai situasi sejak zaman kolonial. Karena jasanya yang teramat besar dibandingkan dengan kelemahan-kelemahannya, maka upaya Orba (Orde Baru) untuk mengecilkannya berujung dengan kegagalan total.

Di atas reruntuhan DT, dibangunlah DP di bawah pimpinan seorang jenderal Angkatan Darat yang berlangsung sampai 32 tahun, rezim terlama sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia. Rezim Orba ini telah berhasil sampai batas tertentu meningkatkan kesejahteraan rakyat sehingga sebagian orang sekarang masih saja terpukau oleh mantra: ”Piye kabare, le? Penak jamanku tho!”

Masa awal rezim ini dihadapkan kepada fakta tentang negara ini yang nyaris bangkrut. Saat itu Indonesia termasuk negara termiskin di dunia. Lautan penderitaan rakyat terlihat di mana-mana. Cari makan sulit, cari pekerjaan sukar. Keluhan terdengar di seluruh negeri, tetapi tak berdaya untuk berbuat sesuatu.

Pada tahun 1966/1967, inflasi membengkak sampai 650 persen, pendapatan per kepala per tahun bergerak sekitar 70 dolar AS. Politik nasional kacau, ekonomi berantakan, tingkat pengangguran sangat tinggi. Beban bangsa, negara, dan rakyat memang berat sekali.

Tetapi, dengan segala malapetaka yang hampir tak tertanggungkan itu, Indonesia masih tidak bubar, ikatan kebangsaan kita masih kuat, berkat Sumpah Pemuda 1928 yang didahului oleh perjalanan panjang pergerakan nasional.

Modal sosial dan kultural untuk bertahan sebagai bangsa cukup besar sekalipun belum sempurna. Bangsa ini masih dalam proses “menjadi”, belum jadi betul 100 persen. Itulah sebabnya mesti dijaga dan dirawat terus-menerus, tanpa henti, tanpa lelah.

Di era DP, pembangunan nasional dijalankan dengan gencar berdasarkan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) demi Repelita. Pada satu sisi, hasilnya cukup menggembirakan, tetapi pada sisi yang lain, kerusakan lingkungan akibat pembangunan itu juga luar biasa. Pintu dibuka lebar-lebar untuk penanaman modal asing demi pembangunan nasional.

Ternyata dalam perjalanannya, negara tidak mampu mengawasi kelakuan modal asing ini. Akibatnya, rezim Orba mulai terancam untuk kemudian penguasanya harus turun takhta pada Mei 1998 yang didahului oleh krisis moneter yang dahsyat.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement