REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Dalam Resonansi pekan yang lalu berdasarkan sumber Republika, sudah tercatat 272 petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang wafat. Baru berjalan seminggu, Republika (5 Mei 2019, hlm. 3) kembali mengutip sumber KPU bahwa jumlah nyawa yang melayang sudah berada pada angka 440.
Pada bagian akhir Resonansi, 30 April saya menulis: “Saya juga kecewa berat karena paslon 01 dan 02 seperti membisu atas kematian yang tragis dan dramatis ini.”
Jelas bukan para paslon itu yang bersalah, melainkan setidak-tidaknya mereka semestinya menunjukkan rasa duka yang dalam, mengapa penyelenggaraan pemilu yang relatif aman dan damai itu harus menelan korban yang begitu banyak.
Mungkin saja rasa duka telah disampaikan, tetapi sepengetahuan saya, gemanya tidak memasuki arus besar pemberitaan media, baik cetak maupun elektronik.
Menurut keterangan KPU, penyebab kematian ini terutama adalah faktor kelelahan para petugas sebagai penyelenggra pemilu yang begitu rumit dengan ketegangan mental yang tinggi.
Inilah pernyataan Komisioner KPU Ilham Saputra tentang pemilu 17 April itu: “Penyelenggaraan pemilu seperti kemarin merujuk kepada undang-undang. Jadi, sudah melalui pertimbangan yang matang…” (Republika, 5 Mei 2019, hlm. 3 di bawah judul: "440 KPPS Wafat Harus Dievaluasi").
Pernyataan semacam ini bagi saya bernada pembelaan diri karena sudah sesuai dengan undang-undang dan bahkan katanya sudah melalui pertimbangan yang matang. Hal senada juga terbaca dalam pernyataan para pengusul judicial review, seperti telah saya kutip dalam Resonansi, Selasa yang lalu.
Jika demikian masalahnya, apakah secara moral dapat dibenarkan bahwa kematian yang sebesar itu menjadi sah dan biasa saja karena sudah sesuai dengan undang-undang dan pertimbangan yang matang?
Cobalah tuan dan puan bayangkan bagaimana perihnya keluarga yang ditinggal para petugas yang penuh dedikasi itu. Maka santunan Rp 36 juta bagi keluarga yang telah menjadi korban sama sekali tidak bisa diukur dengan kehilangan nyawa manusia yang dikasihi anak, istri, dan suami, yang jumlahnya bisa mencapai di atas 2.000.