Ahad 24 Nov 2019 12:37 WIB

Dahlan Melawan Bodoh

Kyai Dahlan pernah menyampaikan bahwa kebodohan jadi latar orang menolak kebenaran.

Ketua Umum (Ketum) PP Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nasir
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Ketua Umum (Ketum) PP Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nasir

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Haedar Nashir

Kauman heboh. Kampung di sekitar Kraton Yogyakarta itu geger gara-gara shaf untuk shalat jamaah di Masjid Gedhe yang ada di kompleks Alun-alun Utara itu digarisi kapur putih sejajar arah kiblat ke arah barat laut yang berbeda dari biasanya. Para penghulu dan jamaah tak berkenan dengan ulah yang mengganggu kemapanan itu.

Bidikan tersangka tertuju ke Kyai Haji Ahmad Dahlah, yang memang tengah memelopori pembaruan Islam di kampung bersejarah di kota Yogyakarta Hadiningrat itu. Meski konon pelaku lapangan yang memberi garis putih itu murid-muridnya, tetapi Ahmad Dahlan yang harus bertanggungjawab.

Ahmad Dahlan disidang para kyai sepuh. Dahlan muda mencoba memberi argumentasi kuat tentang arah kiblat yang benar menurut ajaran Islam dan ilmu falak. Namun para penghulu tetap kukuh dengan pendapatnya yang selama ini mereka pahami. Warga muslim Kauman yang tradisional pun gerah kepada Dahlan.

Kyai Dahlan dan keluarga tidak ingin menimbulkan kehebohan yang mengarah pada konflik sosial di kampungnya sendiri. Didirikanlah Langgar sebagai jalan keluar untuk shalat berjamaah dengan arah kiblat yang benar. Namun warga yang tak bersetuju makin keras, maka dirobohkanlah bangunan masjid kecil atau mushala yang belum selesai itu.

Ahmad Dahlan gundah, tapi tidak ingin konflik berkepanjangan. Dia memutuskan untuk pergi dari Kauman dan mencari lahan dakwah baru bagi usaha pembaruannya sebagaimana Nabi Muhammad hijrah dari Makkah ke Yasrib. Namun keluarga mencegahnya dan meminta Dahlan kembali ke kampungnya.

Dahlan memperoleh dukungan kuat dari kerabat, sahabat, dan murid-muridnya. Dengan segala proses yang mencair akhirnya pembaruan Dahlan diterima masyarakat Kauman. Kampung bersejarah itu kemudian menjadi kampung Muhammadiyah, setelah Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Islam modern ini pada 18 November 1912.

Kekuatan Akal-Suci

Ahmad Dahlan sesungguhnya sedang mendobrak kejumudan dalam beragama dan berkehidupan umat. Kyai muda dari Kauman Yogya itu sosok pencari kebenaran sejati dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi untuk dihadirkan dalam konteks zaman kekinian. Dia melakukan pembaruan bukan sekadar aksi yang ad-hoc seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, pelayanan sosial, dan sebagainya.

Pembaruannya memiliki dasar berpikir yang kokoh pada pemahaman Islam dengan berbasis akal pikiran maju. Kyai Dahlan mengajak agar orang Islam menggunakan  kecerdasan “akal yang suci-murni” dan “berpikiran maju”, sejiwa dengan “aqlu salim” dan “ulil albab” dalam Alquran.

Lawan maju dan cerdas ialah “bodoh” dan “jumud”. Musuh kemajuan itu kebodohan sebagaimana Nabi mendobrak kejahiliyahan bangsa Arab untuk hidup berperadaban tinggi dalam jiwa Iqra dan akhlak-karimah. Dengan risalah Iqra dan membangun akhlak mulia yang mencerahkan akal-budi manusia, Nabi berhasil membebaskan bangsa Arab yang Jahiliyah menjadi bangsa yang berperadaban cerah dan mencerahkan dalam puncak risalah  “al-Madinah al-Munawwarah”.

Dari rahim peradaban Madinah itu kemudian Islam berkembang menjadi agama yang membuana dan menciptakan kejayaan peradaban semesta selama berabad-abad di pentas sejarah dunia. Dahlan meneladani jejak kerisalahan Muhammad, sehingga organisasi yang didirikannya pada 18 November 1912 (8 Dzulhijah 1330 H) diberi nama Muhammadiyah, pengikut Nabi akhir zaman itu. Tradisi iqra dan jiwa ulil-albab yang menghidupkan akal pikiran dan akal-budi yang suci-murni digelorakan sebagai napas gerakan Muhammadiyah.

Kyai Dahlan mengingatkan agar orang Islam menembangkan pemikiran seputar lima hal, yaitu; (1) Orang itu perlu dan harus beragama, (2) Agama itu pada mulanya bercahaya, berkilau-kilauan, akan tetapi makin lama makin suram, padahal yang suram bukan agamanya, akan tetapi manusianya yang memakai agama, (3) Orang itu harus menurut aturan dari syarat yang sah dan yang sudah sesuai dengan pikiran yang suci, jangan sampai membuat keputusan sendiri, (4) Orang itu harus dan wajib mencari tambahan pengetahuan, jangan sekali-kali merasa cukup dengan pengetahuannya sendiri, apalagi menolak pengetahuan orang lain, dan (5) Orang itu perlu dan wajib menjalankan pengetahuannya yang utama, jangan sampai hanya tinggal pengetahuan saja (Syukriyanto & Mulkhan, 1985).

Dalam pelajaran keempat dari Tujuh Falsafah Kyai Dahlan sebagaimana dinukil Kyai Hadjid, Pendiri Muhammadiyah itu menyatakan, “Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama menggunakan akal pikirannya untuk memikir, bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia. Apakah perlunya? Hidup di dunia harus mengerjakan apa? Dan mencari apa? Dan apa yang dituju? Manusia harus menggunakan fikirannya untuk mengoreksi soal iktikad dan keyakinannya, tujuan hidup dan tingkahlakunya, mencari kebenaran yang sejati. Karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini sampai sesat, akibatnya akan celaka, dan sengsara selamanya”. 

Pendapat tersebut dikaitkan dengan ayat ke-44 Surat Al-Furqan yang artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”.

Dahlan menggandrungi dan membumikan kemajuan dalam dunia nyata. Dia selalu menggeloarakan agar setiap muslim jadi orang yang berkemajuan dalam fondasi Islam.

Sejak akhir tahun 1889, Dahlan muda memelopori tajdid dalam jejak pembaruan Islam meluaskan gerakannya ke berbagai bidang, yang kemudian dilembagakan dalam organisasi Muhammadiyah. Lahirlah lembaga pendidikan modern, gerakan Al-Ma’un, tabligh di ruang publik, mendirikan Aisyiyah sebagai gerakan perempuan Islam Indonesia yang progresif, kepanduan Tanah Air yakni Hizbul Wathan, pembaruan zakat, penyelenggaran haji, dan usaha dakwah lainnya dengan menyebarkan pemahaman keislaman yang berwawasan tajdid untuk menghadapi  zaman baru.

Cerdas Berindonesia

Dahlan melahirkan Muhammadiyah untuk mencerdaskan dan kemajuan bangsa  melawan kebodohan dan kejumudan. Muhammadiyah memelopori gerakan cerdas berindonesia. Para tokoh Muhammadiyah  yaitu K.H. Ahmad Dahlan, Agus Salim,   K.H. Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo, Ir Soekarno, Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Panglima Besar Jenderal Soedirman, Ir. Djuanda, Hamka, dan tokoh-tokoh lainnya; maupun para tokoh Aisyiyah yaitu Nyai Walidah Dahlan, Siti Hayyinah, Siti Munjiyah, serta para pemimpin-pemimpin lainnya pasca kemerdekaan hingga era terakhir, adalah tokoh-tokoh cerdas nan arif bijaksana serta telah berkiprah aktif dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka adalah bapak dan ibu pertiwi yang melahirkan NKRI tercinta ini.

Muhammadiyah yang lahir dari gagasan Ahmad Dahlan secara organisasi telah berbuat senyata-nyatanya untuk mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa. Apa yang selama ini dikerjakan Muhammadiyah telah diakui oleh masyarakat luas dan juga oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan menetapkan K.H. Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional tahun 1961, dengan pertimbangan: (1) kepeloporan dalam kebangunan umat Islam Indonesia untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang harus belajar dan berbuat; (2) memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya, ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan dan beramal bagi masyarakat dan umat; (3) memelopori amal-usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangunan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan (4) melalui organisasi Aisyiyah telah memelopori kebangunan wanita bangsa Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.

Setelah Indonesia merdeka, pada berbagai periode pemerintahan hingga periode reformasi, pengabdian Muhammadiyah terhadap bangsa dan negera terus berlanjut. Khidmat kebangsaan ini didorong oleh keinginan yang kuat agar Indonesia mampu melangkah ke depan sejalan dengan cita-cita kemerdekaan. Inilah bukti bahwa Muhammadiyah benar-benar “berkeringat” di dalam usaha-usaha mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa, lebih khusus di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial. Muhammadiyah tidak pernah bertangan-hampa. Ketika negara belum hasir di banyak tempat-tempat terjauh, terdepan, dan tertinggal maka Muhammadiyah hadir mencerdaskan dan memajukan bangsa.

Muhammadiyah meyakini bahwa Indonesia dapat mencapai tujuan untuk menjadi negara dan bangsa berkemajuan di tengah dinamika global sarat tantangan sekaligus dapat menyelesaikan masalah-masalah besar dirinya manakala elite dan warganya cerdas dan maju akal budi, pikiran, dan tindakannya. Kebijakan-kebijakan negara pun baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif serta institusi kenegaraan lainnya harus dibangun di atas prinsip-prinsip pemikiran yang cerdas dan maju serta tidak terjebak pada kebodohan dan kejumudan. Kebijakan-kebijakan negara semestinya juga cerdas dan mencerdaskan, sehingga membuat rakyat semakin cerdas hati, pikiran, dan tindakannya, bukan hanya maju kecakapan teknis dan teknologisnya.

Dalam meraih Indonesia berkemajuan di tengah tantangan dunia yang semakin kompetitif di era revolusi Industri 4.0 dengan segala masalah kompleks maka diperlukan kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang unggul, yakni manusia Indonsia yang berkarakter utama dan berkemampuan  tinggi berbasis nilai dan akal budi mulia. Dalam salah satu frasa lagu Indonesia Raya berkumandang pesan: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Naif jika negara hanya bangga dengan kecakapan teknis dan teknologis, sementara akal-budinya kehilangan sukma utama. Generasi milenial sangatlah penting bagi Indonesia ke depan, tapi jangan jadikan negeri ini beraura tidak akil-balig. Tidak cukup memadai juga jika para elite di negeri ini hebat visi instrumentalnya tetapi lemah visi kenegaraan dan kebangsaan yang melintasi.

Negara, elite, dan warga bangsa pun dapat terjebak pada kebodohan akal budi. Mereka yang bodoh tidak sekadar lemah kemampuan pikirannya, tetapi juga akal budi dan visi kehidupannya yang nirmakna. Dalam Pidato Sidang Tahunan 1921 yang berjudul “Tali Pengikat Hidup”, Kyai Dahlan menyampaikan pandangan, kenapa orang mengabaikan dan menolak kebenaran, hal itu karena antara laun  “bodoh, ini yang banyak sekali”. Negara sering gaduh oleh hal-hal bodoh akibat pikiran, ujaran, sikap, dan tindakan elite atau warganya sembarangan, spontan, dan bernapas-pendek yang jauh dari kualitas cerdas-berkemajuan. Polemik berbangsa pun sering terjebak pada satire orang buta melukiskan gajah secara apriori plus hawa nafsu kepentingan egosentris.

Jika ingin menjadikan Indonesia maju bawalah negeri tercinta ini sebagai negara dan bangsa yang berkecerdasan tinggi di atas pondasi nilai-nilai luhur dan visi kenegaraan yang kokoh sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dan daya hidup bangsa yang menjujung tinggi agama, Pancasila, dan kebudayaan bangsa. Artinya, kemajuan Indonesia itu bukan hanya fisik dan lahiriah semata, tetapi harus disertai nilai-nilai yang cerdas-bermakna. 

Indonesia jangan dibangun seperti pabrik yang memproduksi barang-barang kelontongan, yang kehilangan daya hidup dan makna substantif. “Indonesia itu bernyawa”, ujar Soepomo ketika berpidato di BPUPKI tahun 1945, yang oleh para pendiri bangsa dirancang-bangun dengan kecerdasan tinggi dan berfondasi nilai-nilai utama yang mesti tergambar dalam wajah negara hari ini!

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement