REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Kuntoro Boga Andri *)
Johan Galtung, seorang sosiolog Norwegia, matematikawan, dan pendiri The Peace Research Institute di Oslo, mencetuskan istilah "Masyarakat Punitif" atau masyarakat penghukum. Konsep ini merujuk pada masyarakat yang mencari kompensasi dengan "menghukum" kekuasaan yang ada, karena memori rezim yang menindas di masa lalu. Akibatnya, ada sekelompok golongan yang selalu merasa dirugikan dan menyalahkan apapun yang dilakukan penguasa sekarang.
Untuk kasus Indonesia, Presiden Joko Widodo pernah heran terhadap masyarakat yang tidak percaya dengan pembangunan infrastruktur yang jelas-jelas sudah di depan mata dan tengah berjalan di berbagai daerah (Kompas, 4 September 2017). Dalam beberapa kesempatan, Presiden berharap masyarakat mempercayai pemerintah, tidak saling menyerang, menghentikan kritik yang tidak membangun, termasuk menjelek-jelekan individu ataupun kelompok.
Terkait dengan polemik beras nasional (produksi, impor, stok, dan harga), statement beberapa pakar dalam minggu-minggu terakhir terkesan sangat menghakimi. Mereka selalu meragukan komitmen pemerintah dalam kebijakan pangan, menyalahkan program-program Kementerian Pertanian (Kementan) serta tidak percaya informasi panen dan stok pangan yang disampaikan kementerian dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Senyatanya, produksi padi nasional 2017 berdasarkan rilis BPS sebesar 81,3 juta ton gabah kiring giling (GKG) atau setara 48 juta ton beras. Data ini dibandingkan kebutuhan konsumsi beras nasional 33 juta ton, menghasilkan surplus produksi hingga 15 juta ton di tahun 2017. Pengamat dan pakar selalu mengulang dan meragukan surplus tersebut dan bertanya, di mana berasnya?
Jawabannya, surplus terdistribusi pada rentang waktu 12 bulan atau 1,2 juta ton per bulan. Cadangan pangan tersebut ada di gudang-gudang Bulog yang jumlahnya hanya delapan persen dari total produksi nasional. Sedangkan 92 persen lainnya, ada di masyarakat yang terdiri dari puluhan juta petani, ribuan penggilingan, ratusan ribu pedagang, ratusan industri pangan, dan 65 juta rumah tangga.
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Balitbangtan Kementan, 19 Januari 2018, menyatakan stok beras nasional aman dihitung dari prediksi total luas panen di sembilan provinsi sentra produksi padi pada Januari dan Februari 2018 (antaranews.com). Secara nasional, luas panen Januari 2018 diperkirakan sekitar 900 ribu hektare, Februari 2018 seluas satu juta hektare, dan Maret 2018 seluas 1,3 juta hektare. Bila dikonversi dalam produksi GKG, akan menghasilkan sekitar empat juta ton (Januari), lima Juta ton (Februari), dan 6,5 juta ton (Maret). Di luar itu, ada stok beras pemerintah (Bulog) bulan Januari sebesar 958 ribu ton dan masyarakat yang jumlahnya lebih besar.
Namun dalam beberapa dialog di media nasional, pengamat meragukan data pangan tersebut. Statement dari Kementan, suara DPR, para gubernur dan bupati bahwa pangan di daerah cukup, harga mulai turun karena suplai beras dari daerah sentra produksi mulai mengalir ke pasar-pasar induk, liputan media bahwa stok beras di pedagang aman, dan teriakan "No Import" dari petani dan masyarakat tetap diabaikan.
Beberapa pengamat selalu menyalahkan pemerintah karena fluktuasi harga beras di beberapa pasar induk saja. Mereka mengabaikan keterangan BPS, bahwa kalaupun komponen kenaikan harga beras berpengaruh signifikan dalam inflasi Januari dan Februari 2018, namun masih lebih rendah dibanding Januari dan Februari 2017. Bahkan, secara tahunan inflasi ini masih lebih baik dari tahun 2017. Fluktuasi harga sejak akhir 2017 adalah hal yang wajar terjadi setiap tahun. Rentang harga fluktuasi kurang dari 10-15 persen untuk beras medium dan premium sangatlah normal. Setiap tahunnya memang saat peride desember sampai januari lah periode Bulog seharusnya melepas stok dan mendistribusikannya ke daerah yang kekurangan. Sedangkan Februari sampai April dimana terjadi panen raya Bulog wajib menyerap gabah petani untuk menjaga harga pembelian.
Menurut Sarlito Wirawan, ada dua macam tipe manusia, yaitu orang dengan "Pusat Kendali Internal" yang percaya dirinyalah yang menentukan apa yang akan terjadi pada dirinya, bahkan lingkungannya pun dapat dikendalikan. Sedangkan orang dengan "Pusat Kendali Eksternal (PKE)", orang yang cenderung menyalahkan pihak lain, bukannya mengoreksi diri sendiri.
Dalam tulisannya "Manusia Indonesia", mendiang pakar psikologi Universitas Indonesia ini mengingatkan bangsa kita untuk mawas diri, agar tidak berkecenderungan sebagai orang yang PKE dan menjadi masyarakat penghukum. Menyatukan semangat untuk tidak menghukum, memberikan energi positif, kritik dan itikad mengoreksi diri, adalah kontribusi terbaik kepada bangsa untuk menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan berkelanjutan.
* Peneliti Utama Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Gelar PhD dari Kagoshima University – Jepang, dalam bidang Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Banyak melakukan penelitian ekonomi dan kebijakan pertanian dengan topik manajemen rantai pasok, pengembangan agribisnis, strategi pemasaran dan pengembangan wilayah/pertanian. Berpengalaman sebagai collaborating scientist, technical consultant dan project coordinator untuk the Indonesian FAO project, Bioversity International Bioversity Internasional (CGIAR Consortium), ILRI (International Livestock Institute), ACIAR (Australia), dan AVRDC (Taiwan) Project Development. Pernah menjabat sebagai Kepala Balai Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) Balitbangtan Kementerian Pertanian. Saat ini, menjabat sebagai Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian.