REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Sunarsip
Pada 30 Mei lalu, Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuannya (BI Repo) menjadi 4,75 persen. Pascakenaikan BI Repo tersebut, nilai tukar rupiah mengalami penguatan dari Rp 14.032 per dolar AS pada 30 Mei menjadi Rp 13.951 per dolar AS (31 Mei).
Meski tekanan terhadap rupiah mereda, peluang rupiah melemah terhadap dolar AS masih tetap terbuka. Beberapa faktor eksternal masih mungkin memberikan tekanan terhadap rupiah.
Salah satu faktor yang diperkirakan bisa menjadi penekan rupiah selanjutnya adalah potensi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (the Fed Fund Rate/FFR). Pada Juni 2018, FFR diperkirakan kembali naik sesuai dengan ekspektasi bahwa FFR akan mengalami kenaikan sebanyak tiga kali, bahkan hingga empat kali selama 2018.
Kenaikan FFR ini biasanya akan direspons oleh para pemilik investasi portofolio dengan mengurangi penempatan investasinya di negara berkembang (emerging markets), termasuk Indonesia, sehingga menurunkan likuiditas global ke negara berkembang. Implikasinya, arus modal keluar di emerging markets meningkat dan menyebabkan nilai tukar mata uangnya melemah.
Kenaikan FFR memang telah berdampak nyata terhadap arus modal keluar dari emerging markets. Kenaikan FFR mendorong para pemilik modal portofolio mengurangi penempatan dananya di emerging markets dan mengalihkannya ke pasar keuangan AS. Berdasarkan data dari World Economic Outlook (WEO) yang dikeluarkan Dana Moneter Internasional (IMF) pada April 2018 lalu, tren capital inflow ke emerging markets selama 2017 mengalami pelemahan.
Pada kuartal IV 2017, capital inflow ke emerging markets kurang dari 4 persen terhadap PDB dunia, turun dibandingkan posisi kuartal II dan III 2017 yang di atas 4 persen terhadap PDB dunia. Konsekuensi penurunan capital inflow ini menyebabkan nilai tukar mata uang di emerging markets melemah.
Namun, tentu derajat pelemahan nilai tukar setiap mata uang berbeda-beda bergantung pada karakteristik perekonomiannya. Negara berkembang dengan fundamental ekonomi yang cukup baik, mata uangnya juga relatif memiliki daya tahan yang lebih baik menghadapi tekanan akibat penguatan dolar AS.
Hingga Mei 2018, kinerja nilai tukar rupiah bersama Afrika Selatan, Hungaria, Cile, Polandia, Filipina, India, Brasil, Rusia, Turki, dan Argentina masuk kategori the worst currency. Beberapa negara berkembang yang memiliki kinerja mata uang yang baik adalah Kolombia, Malaysia, Cina, Thailand, dan Meksiko.
Terkait dengan kinerja mata uang tersebut, beberapa kalangan membandingkan antara rupiah yang masuk the worst dengan ringgit Malaysia dan baht Thailand yang masuk kategori the best. Pada dasarnya, upaya membandingkan kinerja rupiah dengan ringgit dan baht ini dapat diterima mengingat ketiganya merupakan anggota ASEAN. Terlebih lagi, Indonesia merupakan negara dengan produk domestik bruto (PDB) tertinggi di ASEAN.
Namun demikian, perlu dipahami bahwa terdapat perbedaan kualitatif yang mendasar sehingga kinerja mata uangnya pun berbeda. Pertumbuhan ekonomi antara Indonesia, Malaysia, dan Thailand relatif tidak jauh berbeda, yaitu sekitar 4-5 persen. Namun, inflasi di Malaysia dan Thailand lebih rendah dari Indonesia. Inflasi Indonesia, Malaysia, dan Thailand masing-masing 3,41 persen, 1,30 persen, dan 1,07 persen.
Sementara itu, transaksi berjalan Malaysia surplus 1,30 persen terhadap PDB, Thailand surplus 10,60 persen terhadap PDB, sedangkan Indonesia defisit 1,70 persen terhadap PDB. Perbedaan inilah yang membuat kinerja nilai tukar rupiah juga berbeda dengan ringgit Malaysia dan baht Thailand.
Pelemahan nilai tukar rupiah yang dalam harus dicegah. Ini mengingat dampaknya yang buruk bagi perekonomian. Pelemahan rupiah memiliki dampak negatif yang lebih besar dibanding dampak positifnya.