Senin 16 Jul 2018 16:43 WIB

Prahara Fauzan Sang Juara Dunia Karate

Menjadi juara dunia di Indonesia tak tentu bisa mendapat jaminan hidup layak.

Fauzan Noor, paling kiri, ketika meraih juara dunia karateka tradisional di Praha, awal 2018. Lihat sosok lawannya yang merupakan karateka asal Cheska yang berbadan jauh lebih tinggi dan berpostur lebih besar darinya.
Foto: Selamat ginting
Fauzan Noor, paling kiri, ketika meraih juara dunia karateka tradisional di Praha, awal 2018. Lihat sosok lawannya yang merupakan karateka asal Cheska yang berbadan jauh lebih tinggi dan berpostur lebih besar darinya.

Oleh: Selamat Ginting, Jurnalis Republika dan mantan atlet karate

Menjadi atlet bahkan juara dunia tak selalu dapat menjadi jaminan hidup bahagia anak Indonesia. Masih ingat nasib Ellyas Pical mantan juara tinju dunia itu?

Seusai masa jayanya lewat, dia sempat jadi penjaga keamanan. Untung Pical punya istri yang baik dan sangat menyayanginya. Pical kini hanya menjadi pegawai kantoran rendahan karena rendahnya pendidikan.

Ini jelas beda dengan Cina, misalnya. Setiap ada juara dunia atau juara olimpiade, negara itu memperhatikannya seumur hidup. Statusnya naik kelas dari orang awam biasa menjadi warga utama.

Kalau ada banyak orang ribut dan bising mengeluk-elukan Lalu Muhammad Zohri karena mampu menjadi juara dunia lari U-18, ada hal ironi yang lain. Tiba-tiba ramai orang sibuk menyanjungnya yang sudah terlihat berlebihan. Di belahan negara lain pun sama, seperti di Inggris, Singapura, Malaysia, Thailand, negara-negara di Timur Tengah, Mesir, Rusia, dan berbagai negara lainnya.

Dan, apa yang dia dapat sekarang, semua kontras ketika Zohri belum apa-apa. Jangankan uang saku latihan, rumahnya yang reyot di Nusa Tenggara Barat tak bisa diperbaikinya. Rezeki baru datang ketika dia juara dunia. Sebelumnya, hanya segelintir orang yang peduli, memupuk bakat, dan mengasah kecepatan larinya.

Nasib Zohri berbanding terbalik, misalnya, dengan Fauzan Noor yang memenangi kumite (perkelahian) kejuaraan dunia karate tradisional (ITKF) di Praha, Republik Cheska, pada awal 2018 lalu. Meski menyandang gelar juara dunia, kehidupannya sampai kini tetap miskin. Sialnya, sampai sekarang tidak ada orang yang memberikan hadiah.

Tragisnya lagi bukan hanya itu, bahkan saat Fauzan melamar menjadi anggota satpol PP di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pun ditolak. Tidak pula ada dari TNI/Polri atau kementerian dan BUMN serta pemda yang menawarkannya kerja. Padahal, dia juara dunia.

Semua ini jelas ironis sekali. Sebab, jika Lalu M Zohri, juara dunia junior lari 100 meter putra yang kini banjir hadiah, Fauzan tetap gigit jari.

Namun, sebenarnya nasib dia sama dengan Zohri sebelum jadi juara. Fauzan berangkat ke Praha berbekal seadanya. Dia malah hanya bermodalkan makanan mi instan dan kacang bungkus. Tiket pesawatnya untuk ke Praha berasal dari sumbangan orang asing. Setelah jadi juara dunia, kehidupannya pun tetap tak berubah. Tetap pahit.

Pertanyaannya, mengapa tidak ada perhatian dari Pemprov Kalimantan Selatan? Apa kabar juga Federasi Karate Tradisional Indonesia (FKTI)? Bagaimana KONI, Kementerian Pemuda dan Olahraga?

Apa yang menimpa Fauzan, jelas membuktikan masih adanya diskriminasi terhadap cabang olahraga. Kiranya inilah yang bisa jadi menjadi biang penyebabnya. Karate, mungkin tidak sepopuler sepak bola, badminton, tinju, tenis, maupun atletik. Tetapi, menjadi juara dunia karate tradisional (dasar karate) punya gengsi tersendiri.

Apalagi di nomor perkelahian bebas yang diikuti Fauzan. Nomor ini tanpa kelas berat badan serta tanpa pelindung tubuh. Hebatnya di final, Fauzan mengalahkan karateka Cheska yang tubuhnya lebih tinggi dan berat badannya pun lebih dari 20 kg dari dirinya. Tapi, Fauzan sukses menekuk karateka asal Cheska itu untuk meraih juara dunia.

Bila Anda pencinta atau atlet beladiri pasti tahu betapa susahnya naik tingkat, apalagi meraih sampai mampu meraih juara dunia. Naik tingkat, apalagi sampai punya ban hitam, jelas tak sembarangan.

Saya tahu betul agar bisa mendapat sabuk hitam setidaknya butuh waktu empat tahun. Ini dicapai melalui penderitaan alias pengorbanan yang panjang. Kaki retak, muka jahitan, hingga patah-patah anggota tubuh adalah hal biasa saja.

Alhasil, saya jadi mafhum dengan sikap Susi Susanti yang lebih suka anaknya bersekolah daripada menjadi olahragawan. Dalam sebuah wawancara dia keberatan bila anaknya ikut bermain bulu tangkis. Padahal, dia tahu anaknya punya bakat alami, yakni punya kemampuan memukul shuttlecock yang keras. Katanya, juara hanya satu dari sekian ribu orang.

Di sini dia sadar bahwa menjadi atlet, bahkan menjadi juara dunia, tak ada jaminan hidup layak. Padahal, semua tahu bulu tangkis merupakan olahraga berprestasi kelas dunia dan populer di Indonesia. Bagaimana kalau jadi juara dunia di luar cabang olahraga itu?

Fauzan salah satu contohnya. Entah di mana jargon: Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya?

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement