REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ratna Komalasari, Peneliti Sakinah Finance
Anda pasti sudah mendengar dan mengetahui kalau beberapa waktu lalu "Dilema Maudy Ayunda" sangat populer di berbagai kalangan. Tweet dari Maudy Ayunda tentang dilemanya memilih kampus sudah mendapat lebih dari 12.000 retweet dari warganet seluruh Indonesia dan berbagai usia. Mulai dari yang menceritakan kontrasnya dilema yang dialami Kak Maudy Ayunda yang harus memilih antara dua kampus terbaik di dunia dengan dilema yang dialami para netizen.
Dilema yang dirasakan oleh warganet cenderung pada topik-topik unik seperti memilih menu makan, memilih pakaian untuk keluar. Dan, dilema-dilema lainnya ala warganet yang unik dan menghibur tentunya. Saya sendiri ikut merasa senang, bangga, iri (dalam konteks positif tentunya) dengan prestasi yang diraih oleh Kak Maudy Ayunda. Tentu hal tersebut menjadi motivasi untuk generasi milenial lainnya bukan?
Teman lama saya pernah bercerita tentang berbedanya budaya belajar, cita-cita yang dibangun oleh lingkungan sekolah juga diskusi lainnya. Ada kegelisahan di sana, ketika di kampus barunya ia merasakan semangat belajar dan cita-cita yang berbeda.
Ia menceritakan betapa kagumnya pada kawan-kawan sekelas kami dahulu ketika masih satu kampus. Sekarang ada yang saat ini sedang melanjutkan studi S2 di berbagai kampus baik di dalam maupun luar negeri. Ada juga yang terlibat dalam dunia industri atau bekerja di bidang lainnya.
Ia melihat budaya yang dibangun di kampus kami lebih luas dan berani juga tegas ketika berbicara tentang cita-cita. Ia mengambil contoh salah satu kawan kami yang sedang bekerja sebagai content reviewer di Malaysia. Kesempatan itu membuatnya takjub bagaimana dua kampus tempatnya sekolah mampu memberikan wawasan dan pemikiran yang begitu berbeda.
Sementara di kampus barunya ia melihat diskusi antara teman satu angkatan dengan jurusan yang sama seperti sebelumnya, yaitu ekonomi Islam yang memiliki impian yang homogen yaitu bekerja di Bank. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal itu. Karena jalan dakwah ekonomi Islam bisa dari mana saja. Tapi ia menyayangkan dengan ilmu yang sudah diterima, waktu dan biaya yang sudah dihabiskan seharusnya ada cita-cita lebih, apalagi terkait tentang Islam.
Dari ceritanya, saya merenungkan ekonomi Islam tidak fokus hanya pada bank, atau keuangan syariah. Jika kita berbicara tentang ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf) itu artinya kita sedang berbicara tentang ekonomi Islam.
Berbicara tentang Pembagian Waris Islami juga bagian ekonomi Islam. Bahkan ketika membicarakan akad-akad yang dipakai sehari-hari dalam sebuah transaksi juga harus dikaitkan dengan ekonomi Islam, terutama bagi seorang Muslim.
Industri halal yang sekarang sedang didorong pertumbuhannya juga termasuk ekonomi Islam. Lalu di mana sebenarnya bank? Saya tidak bermaksud mengecilkan industri perbankan syariah yang sudah sangat besar dan juga berjasa untuk memperkenalkan ekonomi Islam kepada dunia. Tapi mungkin ini saatnya untuk berkembang lagi maju lebih jauh dari hanya sekedar memenuhi kebutuhan industri.
Ekonomi Islam itu lebih besar dari hanya sekedar perbankan. Di sana mencakup ekonomi mikro, makro, bahkan nano yang jarang orang ketahui dan ini berhubungan dengan serba serbi waris Islami. Jika seluas itu cakupan ekonomi Islam, akan sangat disayangkan jika mengasumsikan ekonomi Islam sama dengan perbankan Islam.
Tidak lama ini, Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) sudah meluncurkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) yang berisikan perencanaan strategis dari 2019 hingga 2024 untuk meningkatkan pertumbungan sektor-sektor terkait dengan ekonomi syariah (baca Islam) di Tanah Air dengan dibantu dengan ekosistem yang memadai.
Ekosistem tersebut meliputi beberapa sektor industri halal dan melibatkan semua stakeholders terkait. Sakinah Finance saat ini sedang bekerja sama dengan KNKS untuk meningkatkan literasi keuangan dari berbagai jenjang usia yang didalamnya terdapat pendidikan dan pendekatan apa saja untuk mempraktikan ekonomi Islam secara utuh (kaafah).