Senin 21 Oct 2019 08:07 WIB

Santri dan Misi Perdamaian Dunia

Tema perdamaian dunia masih sangat relevan menyusul krisis kemanusiaan akibat perang.

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid.
Foto: MPR
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua Badan Wakaf Pondok Pesantren Darussalam, Gontor

Sejak empat tahun lalu, 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 2015. Tema peringatan tahun ini adalah “Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia.”

Tahun-tahun sebelumnya, tema bersifat domestik tentang kontribusi dan kemandirian santri serta kedamaian negeri. Tema perdamaian dunia sangat relevan karena kita masih menyaksikan krisis kemanusiaan akibat perang di berbagai belahan bumi.

Konflik bersenjata di Suriah sejak 2011 menelan korban sedikitnya 500 ribu orang dan 12 juta penduduknya mengungsi. Krisis Suriah kemudian memunculkan konflik lain di perbatasan yang melibatkan Turki, etnik Kurdi, Rusia, Amerika Serikat, dan milisi bersenjata, termasuk ISIS.

Krisis keamanan juga masih berlangsung di Yaman, Afghanistan, Sudan, wilayah selatan Arab Saudi. Selain itu, yang tak bisa diabaikan adalah konflik lebih dari separuh abad akibat penjajahan Israel atas Palestina.

Pada berbagai konflik itu terselip pertarungan kepentingan antarnegara adidaya. Umat Islam hanya menjadi korban. Lalu, mungkinkah kaum santri sebagai bagian dari umat terpelajar mampu mengartikulasikan perdamaian dunia?

Tentu saja kita perlu tawadhu dan introspeksi, peran santri di dalam negeri lebih diprioritaskan karena Indonesia juga masih menghadapi tantangan dalam berbagai bidang. Salah satu tantangan berat saat ini adalah merawat integrasi tereduksi sukuisme atau rasialisme.

Konflik komunal di Papua dan Papua Barat, khususnya tragedi kemanusiaan di Wamena, Sorong, Manokwari, dan Jayapura, merupakan alarm bahwa banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan guna menata ulang hubungan antarsuku, agama, dan golongan.

Konflik terkini terjadi di daerah calon ibu kota, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, antara warga Dayak dan pendatang. Santri tentu tidak bisa menghentikan kekerasan fisik karena itu tugas aparat keamanan dan kepolisian.

Sebagaimana santri Indonesia tidak harus berlatih kemiliteran agar siap dikirim menjadi pasukan perdamaian dunia karena itu menjadi tugas TNI. Peran santri adalah membangun kesadaran bahwa betapa bangsa Indonesia sejak awal eksistensinya bersifat majemuk.

Pondok pesantren adalah miniatur Indonesia sebab santri dari seluruh pelosok nusantara berkumpul untuk menuntut ilmu. Bahkan, warga non-Islam bisa datang ke pesantren untuk belajar ilmu bahasa, falsafah, pertanian, atau keahlian lain.

Dalam konteks perdamaian dunia, santri dapat menanamkan dan menyebarluaskan nilai universal Islam yang sejalan dengan nilai kemanusiaan. Ada tiga sikap dan nilai dasar yang dapat dipromosikan.

Pertama, sikap moderasi Islam. Santri adalah duta umat Islam yang harus memiliki konsep berpikir dan bertindak moderat. Kedua, nilai yang patut diperjuangkan untuk perdamaian dunia adalah tasamuh, berjiwa terbuka dan berlapang dada atas perbedaan.

Saat ini kebutuhan kita terhadap sikap toleran melebihi kebutuhan pada masa lalu. Kini kita menghadapi ancaman perpecahan, saling benci, dan konfrontasi. Kita perlu mengembangkan nasionalisme berlandaskan kemanusiaan, tak terperangkap chauvinisme.

Nilai Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW ditujukan bagi seluruh umat manusia. Tidak perlu alergi dengan dakwah bersifat transnasional karena itu justru menandai watak kosmopolitan Islam yang sering diungkap Bung Karno dan Bung Hatta.

Namun, kita mengakui interaksi dan informasi global mungkin menimbulkan efek samping berupa ancaman satu bangsa atas bangsa lain, antarsatu agama dengan agama lain, antarsesama anak bangsa, dan antarsesama pemeluk agama yang sama.

Jika diteliti lebih jauh, sumber ancaman itu adalah sikap ta’ashub atau fanatisme. Fanatisme yang menjadi sumber perpecahan bukanlah rasa bangga seseorang dengan akidah yang dipegangnya. Keyakinan itu baik dan tak bisa dianggap negatif.

Namun, maksud fanatisme yang buruk adalah sikap ketertutupan seseorang dengan keyakinan dan pemikirannya serta menganggap orang lain seluruhnya yang berbeda dengannya adalah musuh, lalu berusaha mencelakakan mereka.

Itu fanatisme yang mengganggu kedamaian dan ketenteraman sosial. Islam memiliki cara mengatasinya. Para santri yang belajar syariah dan peradaban Islam tentu memahami tasamuh yang menolak ta’ashub (fanatisme), mendorong ta’aaruf (saling mengenal), dan menghalangi sikap tanaakur (saling menolak).

Ketiga, al-i`tilaf yang berarti harmoni atau keserasian, yakni keselarasan antara keyakinan dan tingkah laku, menghormati, menyayangi apa yang ada, merangkum, serta menyinergikan segala bentuk perbedaan secara ikhlas dan alamiah.

Dengan harmoni, tercipta tatanan kehidupan yang indah dan teratur. Harmoni bukan keterpaksaan. Ada sistem dan aturan yang menjadi kesepakatan bersama, dimulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, tatanan internasional, bahkan alam semesta.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement