Tanya:
Assalamu 'alaikum...
Ustadz mohon petunjuknya... Begini, di masa SMP saya pernah bernazar karena sangking takutnya tidak naik kelas. Nazar tersebut adalah saya tidak akan makan ikan (tapi tidak semua hewan air) lagi kalau saya naik kelas, dan saya baru bisa melaksanakannya pada saat kuliah sampai sekarang. Apa nazar seperti itu diperbolehkan dan apa hukumnya? Apa bisa nazar ini bisa dibatalkan?? Mohon jawabannya...
Wassalam
Seli
Jawab:
Saudari Seli yang dimuliakan Allah..
Secara syari’at hukum nadzar itu adalah makruh, dan tidak semestinya seseorang melakukan nadzar, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya ia tidak membawa kebaikan dan sesungguhnya ia hanya dikeluarkan (bersumber) dari orang yang bakhil” (HR. Bukhori: 6608,6609 dan Muslim: 1639,1640)
Namun jika seseorang terlanjur bernadzar, dan nadzar itu termasuk nadzar dalam ketaatan maka wajib bagimu memenuhinya. Berdasarkan sabda Nabi SAW, "Barangsiapa yang bernadzar untuk taat kepada Allah maka hendaknya dia mentaati-Nya."
Bila nadzar tersebut sesuatu yang mubah (dibolehkan) seperti makan, minum, pakaian, berpergian, ucapan biasa dan semisalnya maka dia diberikan pilihan antara menepatinya atau membayar kafarat sumpah.
Dalam hal di atas, yaitu seperti nadzar anda untuk tidak makan ikan kalau naik kelas, anda boleh membatalkan nadzar anda dengan membayar kaffarat, karena tidak selayaknya anda mengharamkan makanan yang Allah halalkan untuk anda.
Adapun kafaratnya adalah seperti kaffarah sumpah, sebagaimana sabda Rasulullah, “Kaffarah nadzar adalah dengan kaffarah sumpah.” (HR. Muslim: 1645)
Kaffarah sumpah adalah yang disebutkan oleh Allah dalam surat Al-Maidah ayat: 89, sebagai berikut:
1. Memberi makan sepuluh orang fakir atau miskin dengan makanan yang layak sebagaimana yang dihidangkan untuk keluarganya.
2. Memberi kepada masing-masing dari 10 fakir atau miskin, pakaian yang layak dan sesuai dengan keadaannya.
3. Membebaskan seorang budak dengan syarat mukmin menurut jumhur ulama.
4. Berpuasa tiga hari berturut-turut.
Inilah kaffarah yang diperintahkan oleh Allah, tiga perkara yang disebut pertama bebas dipilih salah satunya. Apabila tidak memungkinkan salah satu dari ketiganya, barulah melaksanakan hal keempat, yaitu berpuasa tiga hari berturut-turut. Apabila seseorang langsung melaksanakan hal keempat padahal salah satu dari ketiga perkara yang pertama memungkinkan untuk dilakukan, maka kaffarahnya tidak sah dan dia masih dituntut kewajiban membayar kaffarah. Adapun puasanya dianggap sebagai amalan tathawwu’ (sunnah) yang diberi pahala atasnya.
Wallahu a'lam bishowab.
Ust. H. Zulhamdi M. Saad, Lc
Rubrik tanya jawab Ramadhan ini diasuh oleh Ikatan Da'i Indonesia (Ikadi). Kirim pertanyaan Anda ke: [email protected].