REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Lembaga Observatorium Bosscha memprediksi posisi hilal sulit ditentukan untuk lima tahun ke depan. Sebab, kondisi cuaca saat ini dinilai cenderung mempersulit pengamatan.
Peneliti Observatorium Bosscha, Hakim Lutfi Malasan, mengatakan secara ilmiah posisi hilal saat ini hanya terlihat kurang dari dua derajat di atas matahari. Sehingga, kata dia, pengamatan bulan ketika matahari terbenam, posisinya hanya berada delapan menit di atas ufuk. "Kondisinya sebelum bulan ikut terbenam," kata dia, Kamis (19/7).
Menurut dia, ini adalah bulan yang secara pengamatan sulit dilakukan. Secara ilmiah, bulan mempunyai dua kemungkinan sabit yang jatuh pada tanggal 19 dan 20. Ketika itu, secara fraksi (pecahan) bulan hanya bisa dilihat 0,22 persen. Usia penampakan tersebut kurang lebih enam jam.
Ketika matahari tenggelam, lanjut Hakim, tinggi hanya satu derajat lebih. Bahkan jika kondisi cuaca ekstrem, atau tingginya hanya di bawah satu derajat, usia penampakan bulan hanya berkisar empat menit. "Tentu sangat sulit bagi astronom untuk melakukan pengamatan," ujarnya.
Karenanya, lanjut dia, beberapa tahun belakangan timbul perbedaan penafsiran antara sejumlah ormas Islam. Hakim menjelaskan, dalam penerapan ibadah seperti Ramadhan dan Idul Fitri biasanya sangat bersandar pada penerapan prinsip-prinsip astronomi. Pada hakikatnya astronom dalam ilmu pengetahuan hanya melakukan perhitungan untuk memprediksi posisi bulan.
Pada astronomi, sambung dia, pengamatan hilal memadukan hisab dengan rukyat. Hakim menegaskan, meskipun astronom sangat berpegang dengan ilmu pengetahuan yang kerap berbasis teori, namun tetap dipadukan dengan eskperimen. Jadi, makna pengamatan hisab dengan rukyat harmonis. "Maknanya sejalan," ujar Dosen Astronom FMIPA ITB Bandung itu.