REPUBLIKA.CO.ID,Di sejumlah tempat, umat Islam melaksanakan shalat Id, yakni shalat sunah pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, di masjid. Namun, di tempat lain, tak sedikit Muslim yang menggelar shalat Id di lapangan. Manakah yang lebih afdal: di masjid atau di lapangan?
Ulama Syafi'iyah berpendapat, melakukan shalat Id di masjid lebih utama mengingat mulianya masjid itu, kecuali jika ada uzur seperti masjid sempit sehingga tidak dapat menampung jamaah. Jika tetap dipaksakan melakukan secara berdesakan di dalam masjid, melakukan shalat Id tersebut hukumnya makruh. Dalam keadaan seperti itu, disunahkan melakukannya di lapangan.
Sedangkan, menurut ulama Malikiyah, shalat Id di lapangan hukumnya mandub (menurut umumnya ulama ushul, mandub searti dengan sunah). Menurut mereka, makruh melaksanakan shalat Id di masjid kecuali Masjidil Haram.
Dalam pandangan para ulama Hambaliyah, melangsungkan shalat Id di lapangan hukumnya sunah dan menganggap makruh jika dilaksanakan di masjid, termasuk Masjidil Haram. Pandangan serupa dikemukakan para ulama Hanafiyah.
Bagaimana dengan pandangan Muhammadiyah? Dalam pelaksanaan shalat Id di lapangan, Muhammadiyah tidak mengaitkan dengan keadaan masjid setempat, tetapi mengamalkannya sesuai yang diamalkan Rasulullah SAW. Dalam hal ini, Rasulullah melaksanakan shalat Id di tanah lapang yang dalam hadis (riwayat Bukhari dan Muslim) disebutkan mushala (tempat shalat).
Sementara dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah disebutkan, suatu kali saat hari raya, datanglah hujan, maka para sahabat beserta Nabi shalat Id di masjid. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: "Sesungguhnya mereka (para sahabat) pada suatu hari raya diguyur hujan, maka Nabi shalat bersama mereka di dalam masjid.'' (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Muhammadiyah pun, seperti termaktub dalam buku kumpulan fatwa tarjih Muhammadiyah, mengamalkan yang demikian. Artinya, jika tidak dalam keadaan hujan, shalat Id dilaksanakan di lapangan. Sementara jika hujan, dilakukan di masjid.
Nahdlatul Ulama (NU) juga menyoroti hal ini. Pada buku kumpulan keputusan muktamar, munas, dan Konbes NU (1926-2004) dinyatakan, shalat hari raya di lapangan hukumnya sunah apabila masjid tidak mencukupi. Sunah pula melaksanakan shalat hari raya di masjid untuk orang-orang yang tidak mampu datang ke lapangan.
Dalam kitab Minhajul Qawim disebutkan, "Disunahkan melaksanakan shalat hari raya di masjid demi kemuliaan masjid. Jika shalat di lapangan, hukumnya makruh wanita haid berdiri di pintu masjid. Kecuali jika masjid sudah tidak muat lagi, disunahkan melaksanakannya di lapangan sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Dalam keadaan masjid tidak muat, makruh melaksanakannya di masjid.
Sama dengan keleluasaan masjid, adanya hujan yang mencegah pelaksanaan shalat di lapangan (yakni tentang kemakruhannya). Secara mutlak disunahkan shalat di Masjidil Haram di Makkah dan Baitul Maqdis di Palestina sesuai dengan yang dilakukan para ulama salaf dan khalaf.''
Kitab yang sama juga menyebutkan, "Orang-orang yang kondisi fisiknya lemah dan orang-orang yang tidak mampu datang ke lapangan, disunahkan shalat hari raya di masjid.''