REPUBLIKA.CO.ID,Tidak seperti biasanya, usai shalat Isya, Masjid Syuhada di daerah Jalan Pacar Kembang, Tambaksari, Surabaya, Jawa Timur, masih dipadati jamaah. Di sudut pintu, sudah tersaji berbagai jenis kue sebagai tradisi selamatan menjelang Ramadhan.
“Ini namanya megengan," kata Sudarmadi (56 tahun), warga setempat, Kamis (4/7). Megengan merupakan tradisi yang dilakukan menjelang Ramadhan. Sebelum menjalani ibadah puasa, warga menyantap kue bersama tetangga sekitar.
Jenis kue khas warga Surabaya dalam menyambut Ramadhan adalah kue apem. Penganan lainnya yang disajikan adalah pisang raja. “Khususnya, kue apem sudah menjadi kebudayaan kental masyarakat Jawa Timur dalam setiap acara," kata Sarifah (27), warga lainnya.
Ada makna di balik dua penganan itu. Kue apem dan pisang raja jika digabungkan akan membentuk payung, yang dimaknai sebagai perlindungan dari segala hambatan ketika menjalankan ibadah puasa.
Sudarmadi menjelaskan, setiap warga menyumbangkan sedikitnya 50 kue untuk acara tersebut. Kegiatan megengan biasa dilakukan di masjid, tapi banyak juga yang menyelenggarakan di rumah. Mereka mengundang kerabat dan tetangga dekatnya untuk berdoa dan santap makan bersama.
Pelaksanaan megengan umumnya dilakukan mulai dari sepekan hingga sehari sebelum masuk bulan Ramadhan. Mengenai waktu pelaksanaan, bergantung kultur di setiap kampung. Sebelum megengan, papar Sarifah, pada sore hari sebagian warga Surabaya berziarah ke makam leluhur dan tokoh agama ternama, di antaranya makam Sunan Ampel dan Mbah Bungkul.
Di Bogor, Jawa Barat, masyarakat juga biasa menggelar cucurak, yaitu tradisi berkumpul dan menggelar makan bersama. Tradisi lain yang biasanya dilakukan menjelang Ramadhan, yaitu mandi di sungai atau kali. Masyarakat Jawa mengenal padusan, sedangkan Minang menyebutnya dengan mandi balimau.
Di Kota Bandar Lampung, masyarakat juga melakoni tradisi serupa. Menjelang Ramadhan, masyarakat setempat menyerbu Sungai Akar, Kelurahan Sumur Putri, Kecamatan Telukbetung Utara, Kota Bandar Lampung. Tradisi yang sudah berlangsung turun-menurun ini disebut belangiran. Banyak versi mengartikan belangiran. Ada yang menyebutkan berkumpul mandi bersama dengan bersenang-senang di Kali Akar.
Ada juga yang mengartikan belangiran sebagai wadah silaturahim menjelang bulan puasa dengan main di Kali Akar. Bahkan, ada juga yang meyakini tradisi belangiran sebagai penyucian jiwa. Artinya, setiap yang datang tidak bisa memastikan niatnya untuk apa.
Pemerintah Provinsi Lampung pun menilai tradisi ini layak dilestarikan sehingga memasukkannya sebagai event lokal tahunan. Belangiran biasanya digelar satu pekan menjelang Ramadhan.
Pada hari-hari biasa, Sungai Akar terlihat sepi. Hanya ada beberapa warga yang bertempat tinggal di sungai penuh bebatuan besar itu melakukan aktivitas, seperti mandi, cuci, dan kakus. Namun, suasana berbeda terlihat ketika belangiran digelar. Masyarakat memadati sungai yang sumber airnya berasal dari perbukitan Gunung Betung dan bermuara di Teluk Lampung.
Banyaknya warga berkumpul membuat jalan-jalan yang mengarah ke Kali Akar padat dan macet, sepekan menjelang Ramadhan. Pantauan Republika, Selasa (2/7), ribuan orang menghadiri tradisi belangiran di Kali Akar. Jalan Raden Imba Kesuma dan Jalan Pangeran M Noer tak biasanya dipadati kendaraan menuju kali tersebut. Kegiatan ini berlangsung dari siang hingga petang hari.
Menurut Yudi, warga setempat, tradisi ini tidak hanya mandi bersama. “Ini kumpul-kumpul di kali. Ada yang mandi, ada yang bercanda dan bersenang-senang saja,” ujar Yudi.
Belangiran semakin meriah ketika panitia penyelenggara melepas ratusan kilogram ikan mas, bebek, serta ayam di lokasi. Warga pun berhamburan mendapatkan ikan, bebek, dan ayam tersebut.
Gubernur Lampung Sjachroedin ZP mengingatkan masyarakat akan tradisi belangiran atau mandi di kali ini bukanlah kegiatan meleburkan dosa. Belangiran adalah tradisi adat budaya secara turun-temurun yang sifatnya menghibur warga.
Tradisi lain yang biasanya dilakukan menjelang Ramadhan, yaitu berziarah ke makam atau dikenal dengan nyekar. Nyekar bertujuan menghormati keluarga yang sudah meninggal dengan merawat makamnya