Meramaikan Malam-Malam Likuran

Red: A.Syalaby Ichsan

Senin 29 Jul 2013 11:27 WIB

Melancong Bareng Abah Alwi Melancong Bareng Abah Alwi

Oleh Abah Alwi

REPUBLIKA.CO.ID, Bulan Ramadhan saat ini memasuki 10 hari terakhir. Dalam beberapa hari mendatang akan terjadi puncak arus mudik. Sebanyak 9,7 juta orang diperkirakan akan mudik dari wilayah Jabodetabek. Baik naik kereta api, bus, pesawat terbang, dan juga mobil pribadi.

Tentu saja sepeda motor ikut meramaikan suasana mudik meski ada anjuran agar jangan mudik dengan sepeda motor karena amat rawan kecelakaan. Suasana lalu lintas Jakarta ketika ditinggalkan sebagian besar warganya sangat nyaman. Hampir semua ruas jalan tidak terjadi kemacetan, kecuali jika mendekat ke tempat wisata.

Suasananya seperti tahun 1950-an, ketika hampir tidak pernah terjadi kemacetan. Maklum, saat itu penduduk sekitar satu jutaan orang. Suasana Ramadhan di era tersebut lebih syahdu bagi saya.

Seperti, pada malam-malam likuran, yaitu malam-malam ganjil mulai malam 21 sampai 29 Ramadhan. Suasana di kampung-kampung terang benderang. Halaman-halaman rumah diterangi lilin dan lampu minyak.

Warga, khususnya yang sudah tua, begadang semalam suntuk sambil membaca kitab suci Alquran dan berzikir. “Insya Allah kita akan mendapati malam Lailatul Qadar”, mungkin itu yang ada di benak mereka.   

Sedangkan, di mesjid-mesjid yang dikelola keturunan Arab, diadakan buka puasa bersama yang diteruskan dengan shalat Tarawih. Acara ini sudah berlangsung sejak masa kolonial. Namun, acaranya tidak pernah berubah hingga kini. Seperti, malam 23 Ramadhan di Masjid Empang Bogor, dua hari kemudian di Masjid Kwitang, Jakarta Pusat.   

Kemudian, berturut-turut di Masjid Al-Hawi,Condet, Jakarta Timur, Masjid Luar Batang, Jakarta Utara, dan terakhir pada malam 27 Ramadhan di Masjid Zawiyah, Pekojan, Jakarta Barat.  

Buka puasa di tempat-tempat tersebut terbuka untuk umum. Untuk itu, rumah-rumah yang berdekatan dengan masjid membuka pintunya lebar-lebar dengan menyediakan makanan berbuka berupa nasi kebuli dan gulai kambing.  

Yang paling meriah adalah malam takbiran sehari menjelang Idul Fitri. Para orang tua menugaskan putra-putranya menyerahkan beras fitrah kepada fakir miskin atau uang sesuai dengan nilai beras yang menjadi santapan sehari-hari mereka. Kemudian, mereka keliling kampung dengan berjalan kaki membawa obor sambil tidak henti-hentinya mengumandangkan takbir.  

Malam takbiran juga paling membahagiakan bagi para gadis. Karena mereka yang ketika itu—sampai tahun 1940-an—masih dipingit, diberikan kebebasan keluar rumah. Tentu saja dengan pengawasan orang tua atau kerabatnya.  

Mereka membeli kembang di pasar-pasar Cikini, Senen, atau Tanah Abang untuk hiasan pada hari Lebaran. Tradisi pingitan baru mulai hilang pada 1950-an meski pergaulan antargadis dan pria masih terbatas. 

Kegembiraan  lainnya, terutama bagi anak-anak, adalah main petasan dan kembang api. Petasan ketika itu tidak dilarang. Bang Ali ketika menjadi gubernur DKI pernah menjadikan Jalan Thamrin sebagai “arena perang petasan”.  

Selain petasan, bermain “bumbung” juga digemari. Bumbung terbuat dari bambu yang diberi lubang dan diisi karbit atau minyak tanah. Bagian depannya disumpel pakaian bekas (lap). Setelah lubang disundut api, bumbung pun berbunyi seperti meriam. 

Meski begitu, suasana kesedihan juga terjadi, ketika para orang tua saling bertemu. Mereka mengingat keluarganya yang telah berpulang sambil menyebut kebaikannya saat yang bersangkutan hidup. Suasana haru juga terjadi ketika mendatangi makam orang tua, kerabat, dan handai tolan. 

Terpopuler