REPUBLIKA.CO.ID, Malam ke duapuluh satu, Masjid Agung At Tin, Jakarta. Suara sesegukan terdengar samar di sela kepadatan jama'ah. Mereka menangis. Sementara, suara berat lelaki itu tetap memandu.
"Ampunilah dosa orangtua kami ya Rab,"ujar Abdul Muis Beddu, si pemilik suara. Kalimat itu pun diikuti dengan ribuan sangau bunyi napas jamaah yang tertahan. Tak jarang, diselingi sesegukan.
Ritual muhasabah itu digelar Ahad (21/8) dini hari. Tepat dengan dimulainya malam ganjil Ramadhan. Usai menjalankan sholat malam berjamaah, Muis memandu limaribuan jamaah itu untuk menghitung apa yang telah diperbuat selama setahun belakangan ini. Diawali dengan memuji Tuhan, shalawat Rasul, memohon ampun untuk diri, dan mendoakan orang tua.
Setelah itu, Muis pun masuk ke materi muhasabah. Muis memilih tema muhasabah dengan evaluasi diri di tengah lingkungan keluarga. Seperti bagaimana memperlakukan isteri, anak, dan orang tua.
Menurutnya, tema-tema seperti itu sering menyentuh perasaan jamaah sehingga mendorong mereka untuk mengeluarkan air mata. "Kalau mengingatkan seperti apa yang selama ini dilakukan oleh orang tua seharusnya tersentuh,"ujarnya saat berbincang dengan Republika, di Masjid Agung At Tin, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sebelum memandu muhasabah, Muis akan berdoa panjang. Menurutnya, doa itu untuk memohon ampun dosa-dosanya sendiri yang telah dilakukan. Muis mengaku muhasabah diri sebelum memandu muhasabah jamaah akan memberi efek kekhusyukan yang optimal untuk dirinya. Sehingga, tutur Muis, dia bisa mendapatkan gelombang emosi yang sama dengan jamaah saat bermuhasabah.
Hanya, Muis enggan mendramatisasi. Baginya, larut atau tidaknya jamaah dalam muhasabah ditentukan oleh kekhusyukan jamaah dan pemandu muhasabah. Ia pun memberi catatan. Sebenarnya, muhasabah dianjurkan secara sendirian. Muhasabah berjamaah, ungkapnya, dilakukan untuk menstimulasi mereka untuk menjalankan ritual itu setiap saat dan dimana saja.
Sudah lima tahun belakangan Muis menjadi petugas pemandu muhasabah di Masjid Agung At Tin. Lulusan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini, dipilih lantaran akhlak, kepandaian membaca Alquran, dan wawasannya yang baik. Muis memang sejak mahasiswa menjadi aktivis masjid. Ia masuk menjadi pengurus At Tin pada 1999 lalu.
Sukeri Abdillah mempunyai aktivitas yang sama dengan Muis. Di penghujung Ramadhan, ustaz ini akan menjadi pemimpin muhasabah pada malam-malam ganjil di Masjid Baitul Hikmah, El Nusa dan Masjid Pondok Indah Jakarta. "Sudah empat tahun belakangan,"ungkapnya saat berbincang dengan Republika, di Masjid Baitul Hikmah, El Nusa, Jakarta.
Pria yang juga trainer ini memiliki ritual sebelum memimpin muhasabah. Sukeri akan membersihkan badan terlebih dahulu, berpakaian bersih dan rapi, dan memakai wewangian. Ia pun harus menyiapkan dirinya dengan tidur secukupnya sebelum memandu para jamaah.
Selain bersiap secara fisik, Sukeri mengaku harus menyiapkan dirinya secara mental. Menurutnya, ia akan sholat sunnah minimal dua rakaat terlebih dahulu agar mengasah tawadhu.
Buat Sukeri, muhasabah bermakna refleksi mengenai apa yang sudah dilakukan semasa mengarungi perjalanan hidup.
Lainnya, tutur Sukeri, muhasabah merupakan kendaraan bagi manusia untuk bisa mensyukuri nikmat yang sudah diberikan oleh Allah SWT. Sukeri menjelaskan dengan bermuhasabah, manusia seharusnya bisa meningkatkan kualitas amal ibadahnya baik horizontal mau pun vertikal.
Sebenarnya, ungkap Sukeri, muhasabah sudah dicontohkan oleh Rasulullah ketika berkhalawat (menyendiri) di Gua Hira sebelum menerima wahyu. Ketika itu, ujarnya, Rasulullah merenungi tentang fenomena yang terjadi pada kaum Quraisy. Sahabat pun mengikuti contoh Rasulullah. Menurutnya, ini terlihat dari perkataan Abu bakar Assidiq yang mengatakan,'hisablah diri kamu sebelum dihisab,'
Maraknya muhasabah secara berjamaah sekarang ini, tutur Sukeri, merupakan ijtihad (pendapat) dari para ulama kontemporer. Seperti Muis, Sukeri pun berpendapat muhasabah sendiri merupakan ritual paling efektif karena bisa dilakukan berulang-ulang. "Kalau muhasabah berjamaah itu untuk stimulus saja. warming up,"ungkapnya.
Meski demikian, banyak jamaah yang memiliki ketergantungan untuk muhasabah berjamaah. Untuk itu, Sukeri menyarankan agar para jamaah giat untuk mengkaji ilmu agama.
Menurutnya, tadabbur Alquran dalam kajian agama diperlukan agar mereka memiliki panduan dalam membedakan yang benar dan yang salah. Jika sudah punya panduan, tuturnya, maka manusia akan dapat 'menghitung diri'.