REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Amanda Pattisahusiwa
Seperti mengemut permen, mani-manis-asam. Ini gambaran menjalani puasa di negeri orang. Manis pertama karena bahagia bertemu Ramadhan. Manis kedua karena dapat merasakan nuansa bulan suci yang berbeda dari tahun sebelumnya.
Namun, memang terkadang agak sama karena penuh tantangan dan godaan yang lebih besar. Pada 2013 merupakan tahun pertama berpuasa di luar negeri, yaitu Adelaide, Australia. Seperti Muslim lainnya, selain puasa, kegiatan lainnya adalah tarawih dan membaca Alquran.
Sejumlah ceramah, baik yang diselenggarakan masyarakat Muslim lokal maupun komunitas Indonesia juga diikuti. Sebenarnya, menjalankan ibadah puasa di Australia saat ini bisa dibilang lebih “menguntungkan” dibanding negara-negara Eropa, Amerika, bahkan Indonesia.
Australia yang berada di belahan bumi selatan, saat ini memiliki waktu malam lebih panjang dibandingkan siang harinya. Dengan demikian, durasi berpuasa menjadi lebih singkat. Di Adelaide, misalnya, imsak jatuh pada pukul 05.42 waktu setempat.
Sedangkan, Maghrib pada pukul 17.26 waktu setempat. Jadi, Muslim di Adelaide praktis berpuasa tidak sampai 12 jam. Di sisi lain, Ramadhan tiba di awal musim dingin. Ini membuat udara di bumi Australia menjadi lebih sejuk. Puasa lebih nyaman dan tak menguras keringat.
Meski demikian, tantangan tetap saja ada. Berpuasa di negeri tempat Muslim adalah minoritas menjadi tantangan tersendiri. Restoran dan tempat-tempat hiburan tetap berjalan seperti biasa. Banyak orang berlalu-lalang sembari makan dan minum.
Sering kali orang-orang menatap heran ketika mengetahui Muslim menjalankan puasa. “Mengapa kamu puasa, apa tidak lapar?” Demikian sejumlah pertanyaann yang sempat diajukan mereka. Ada yang bertanya karena ingin tahu, ada pula yang sekadar basa-basi.
Bagi yang bertanya karena keingintahuannya, penjelasan disampaikan dengan sebaik-baiknya. “Dalam Islam, kami berpuasa untuk membersihkan diri dan berpuasa juga turut menyehatkan badan.” Ini jawaban yang diberikan kepada mereka.
Suatu waktu, kerinduan suasana Ramadhan di Tanah Air muncul. Mulai dari pawai Ramadhan, kegiatan selama bulan suci, dan azan yang diperdengarkan melalui pengeras suara masjid. Tapi, kerinduan ini terobati dengan kuatnya persaudaraan sesama Muslim di Australia.
Islam yang diyakini dari hampir setengah juta penduduk di Australia cukup dapat melahirkan persaudaraan yang erat antara sesama Muslim. Latar belakang negara dan etnis yang berbeda malah menjadi keistimewaan tersendiri untuk saling mengenal.
Data dari Islamic Information Centre of South Australia (IICSA) menyatakan, saat ini terdapat 11 masjid yang didirikan oleh berbagai komunitas etnis di sekitar Australia Selatan, seperti Masjid Adelaide, Masjid Al Khalil, Masjid Umar bin Khathab, dan Masjid Parafield Garden.
Maka, ketika waktu Maghrib tiba, setiap Muslim dapat berbuka puasa secara gratis di masjid-masjid tersebut. Sebagai bonus, mereka juga dapat mencicipi hidangan dari berbagai negara, seperti dari Timur Tengah, Turki, dan lainnya.
Tidak hanya itu, Ramadhan juga menjadi momen penguat persaudaraan Muslim Indonesia di Adelaide. Bisa jadi, rasa senasib sepenanggungan berpuasa di negeri orang menjadi salah satu faktor kunci dalam hal ini.
Tidak jarang sesama warga pun sering mengirim hidangan berbuka ataupun berbuka puasa bersama. Tentunya, dengan hidangan-hidangan khas, seperti gorengan, bakso, siomay, kolak, dan sederet makanan dan minuman lainnya. Semuanya menjadi obat rindu kampung halaman.
Organisasi keislaman Indonesia di Australia berperan penting menghidupkan Ramadhan. MIIAS atau Masyarakat Islam Indonesia Australia Selatan, misalnya, memiliki berbagai kegiatan. Sebut saja buka puasa bersama, pelatihan Alquran, berbagi pengalaman mualaf, dan penyaluran zakat.
Tak hanya MIIAS, komunitas islam lainnya, KIA atau Kajian Islam Adelaide juga turut menyelenggarakan kegiatan-kegiatan selama bulan Ramadhan. Selain aktivitas ibadah, mereka menggiatkan tim rebana untuk melantunkan shalawat dan berbagai lagu daerah.