REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER -- Warga desa di Kabupaten Jember dan sekitarnya hingga kini masih menjaga kelangsungan tradisi "tompokan" atau menyembelih sapi yang dibeli secara patungan dalam menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri.
"Tradisi itu sudah dilestarikan dari generasi ke generasi, karena warga desa memang tidak mampu membeli daging," kata warga Desa Suco Krajan, Mumbulsari, Jember, Yusuf, di desa setempat, Rabu.
Di desanya, ada 40 warga yang setiap orang membayar Rp 180 ribu. "Biasanya, Rp 180 ribu itu tidak dibayar secara langsung, tapi diangsur pada setiap ada kegiatan Yasinan," tuturnya.
Setelah terkumpul, maka koordinator "tompokan" membeli sapi ke pasar. "Uangnya terkumpul Rp 7,2 juta, padahal tahun lalu sudah cukup dengan harga Rp 6 juta," ucapnya.
Selanjutnya, sapi disembelih pada "H-1" Lebaran dan dipotong secara bergotong royong untuk dibagikan kepada setiap peserta "tompokan" dengan sekitar 2,5 hingga 3 kilogram per peserta.
Pembagian daging sapi untuk Lebaran itu semula dijatah 2,5 kilogram per orang yang diletakkan di atas daun pisang, lalu daging sisanya dibagi lagi secara merata hingga terkumpul 3 kilogram/orang.
"Nanti, daging sapi itu dimasak untuk hidangan keluarga dan kerabat yang bersilaturrahmi, bahkan ada yang membawanya untuk hantaran saat berkunjung ke sanak keluarga yang jauh," ungkapnya.
Hal yang sama juga dilakukan warga Desa Mayang, Jember. "Di tempat saya, setiap orang hanya mendapatkan 2 kilogram daging sapi, karena sapi yang dibeli bertubuh kecil, padahal harganya Rp 7,5 juta dari 30 orang yang patungan Rp 250 ribuan," kata warga Mayang, Agus.
Tradisi serupa juga ada di Grujugan Lor, Bondowoso. "Kalau di sini, kami patungan selama setahun. Setiap bulan kami membayar Rp 15 ribu, lalu kekurangan biaya akan digenapkan di akhir pembayaran," ujar warga Grujugan Lor, Bondowoso, Amin.
Selain tradisi "tompokan", warga desa di Jember, Bondowoso, dan sekitarnya juga masih kental dengan tradisi "ater-ater" yakni mengirim makanan atau kue kepada keluarga dan kerabat untuk berlebaran.