REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) untuk ketiga kalinya sebesar 50 basis poin menjadi 7,0 persen. Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Destry Damayanti mengungkapkan langkah ini dinilai positif untuk perbaikan nilai tukar rupiah dan inflasi tahunan.
"Tekanan ini tidak bisa dihindari. Sekarang bukan hanya dari capital outflow saja tetapi juga tekanan yang berasal dari dalam negara itu sendiri," ujar Destry, Kamis (29/8).
Kenaikan suku bunga acuan tidak bisa dihindarkan. Apalagi ada ekspektasi inflasi tinggi dari BI, yaitu di kisaran 9-9,8 persen. Suku bunga acuan sebesar 7,0 persen ini diharapkan dapat menjaga inflasi agar tidak bergerak terlalu luar.
Secara tidak langsung BI memberikan sinyal kepada industri dan pemerintah untuk mengetatkan investasi dan menunda belanja yang tidak perlu.
Hanya Destry mengharapkan BI tidak menaikkan suku bunga acuan terlalu tinggi. Hal ini akan membuat ekonomi domestik menjerit akibat bunga tinggi. "Kita juga perlu mendukung ekonomi domestik," ujar Destry.
Kenaikan suku bunga acuan diharapkan berpengaruh pada kembalinya dana masyarakat yang tersimpan di luar negeri. Kenaikan ini diharap bisa membuat rupiah menjadi lebih menarik sehingga dana di luar negeri bisa kembali ke tanah air. "Misalnya bunga hanya 6 persen jadi 7 persen sedangkan dengan menyimpan dalam bentuk dolar AS hanya 0,3 persen," kata Destry.
Destry mengakui tidak ada angka pasti berapa jumlah dana yang disimpan masyarakat di luar negeri. Namun dari perhitungan yang dilakukan Bank Mandiri, dana yang ada di luar bisa mencapai 100 miliar dolar AS.
Yang dapat dilakukan pemerintah adalah menarik dana secara mekanisme pasar. Pemerintah bisa membuat instrumen menarik agar secara perlahan dana di luar bisa kembali ke Indonesia. "Selain itu dana ini jangan hanya masuk ke portofolio namun juga ke sektor ril," kata Destry.