REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Hubungan antara Mesir dan Turki kembali mencapai titik panas. Pemerintah Kairo, Sabtu (22/11) waktu setempat meminta agar Duta Besar Turki Huseyin Avni Botsali segera
meninggalkan Mesir. Keputusan itu menyusul tuduhan pemerintahan interim terhadap Istanbul.Mesir menuduh Turki telah mendukung kelompok-kelompok anarkis di Negeri Piramida.
Meski tidak menyebutkan kelompok mana yang dimaksud, akan tetapi Kairo meyakini, kelompok tersebut adalah ancaman yang mengundang ketidakstabilan. ''Turki telah mencoba mempengaruhi opini publik kami terhadap Pemerintahan Mesir. Mereka (Turki) telah mendukung pertemuan-pertemuan organisasi berbahaya di negeri ini,'' kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Mesir Badr Abdel Aatay, seperti dikutip Egypt Independent, Ahad (23/11).
Keputusan tersebut, kata Aatay, adalah pertimbangan matang dalam hubungan diplomatik. Pengusiran perwakilan negara lain juga memperhatikan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik. Kata dia, lewat regulasi internasional, pemeritah interim mengeluarkan tiga langkah menuju pemutusan hubungan diplomatik.
Pertama kata dia, permintaan pulang terhadap Botsali. Hal tersebut otomatis menurunkan hubungan diplomatik ke kedua negara hanya sampai pada tingkat hubungan tingkat kuasa usaha.
Kedua menyatakan Botsali sebagai objek persona non grata. Sebab Botsali masih berada di ibu kota Kairo. Persona non grata adalah istilah diplomasi yang menyatakan ketidaksukaan negara tuan rumah terhadap Duta Besar dari negara lain. Status tersebut membawa konsekuensi penghapusan kewenangan Duta Besar di tempat dia berkantor.
Dan ketiga, sambung Aatay pemerintah Mesir tidak akan mengirimkan kembali Duta Besar Mesir untuk Istanbul. ''Ini adalah jawaban resmi dari kami,'' ujar Aatay.
Meski begitu, Aatay menegaskan jaminan keamanan warga Turki di Mesir. Persoalan ini kata dia bersifat formal tidak menyentuh permusuhan antar manusia. Mesir dan Turki tidak sekali ini menghadapi krisis diplomatik. Perang mulut antar dua pemimpin negara timbul pascakudeta Juli lalu.
Perdana Menteri Turki Reccep Tayyip Erdogan menjadi tokoh internasional paling keras mengutuk aksi inkonstitusional di Kairo.Erdogan terang mengatakan, aksi Panglima Militer Mesir Abdel Fattah el-Sisi terhadap Presiden Muhammad Mursi telah menciderai proses demokrasi dan bernegara. Tegas dia menyampaikan, Turki hanya mengakui Mursi sebagai Presiden Mesir yang sah.
Kemarahan Erdogan atas jatuhnya Mursi juga membuat Kementrian Luar Negeri Turki sempat menarik perwakilannya di Kairo untuk konsultasi. Penarikan sementara itu berbarengan dengan pemanggilan Duta Besar Mesir di Istanbul.
Kemarahan Erdogan memuncak saat pemerintahan interim membubarkan paksa demonstrasi kelompok pendukung Ikhwanul Muslimin (IM) dan Mursi 14 Agustus lalu. Peristiwa yang menewaskan seribuan orang itu dikatakan Erdogan sebagai kejahatan manusia. Aljazeera mengatakan, kemarahan Erdogan terhadap Mesir terang memberi jawaban hubungan dekat antara Erdogan dan Mursi.
Dua pemimpin di kawasan Timur Tengah ini punya kesamaan ideologi. Jika Mursi besar membawa nama IM, Erdogan membawa Partai Keadilan dan Pembangun (AKP).Dua partai tersebut menjadikan Islam moderat sebagai tatanan hukum mengatur beberapa persoalan negara. Sikap saling dukung antar keduanya juga kentara. Hal tersebut membuat keduanya juga menjadi musuh politik bersama kelompok-kelompok liberal dan Muslim di negeri masing-masing.