REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS usai Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 melemah tipis. Pengamat menilai, pelemahan rupiah disebabkan hasil hitung cepat perolehan suara 12 partai tidak ada yang mencapai 20 persen.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada Kamis (10/4), bergerak melemah ke angka Rp 11.342 per dolar AS, melemah 33 poin. Sebelum Pemilu, Selasa (8/4), nilai tukar rupiah dalam kurs tengah BI berada pada Rp 11.309 per dolar AS.
Ekonom PT Bank Central Asia, Tbk (BCA) David Sumual mengatakan, pasar mengalami ketidakpastian usai Pemilu. "Pasar sedikit nervous karena ada ketidakpastian baru," ujar David, Kamis (10/2).
Ketidakpastian disebabkan hasil hitung cepat yang menunjukan bahwa tidak ada partai yang mencapai perolehan suara lebih dari 20 persen. David mengatakan, dengan tidak adanya partai yang mencapai suara 20 persen, timbul koalisi baru yang lebih gemuk dan akan menyulitkan dalam pembuatan kebijakan.
"Di pemerintahan, birokrasi gemuk karena mengakomodir banyak partai," ujarnya. Hal tersebut akan membuat anggaran semakin membengkak, pajak membesar dan utang meningkat.
Ia juga menilai bahwa penguatan rupiah sebelumnya terlalu berlebihan. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menguat ke level Rp 11.200 pasca Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kesiapannya menjadi calon presiden. "Ada semacam ekspektasi yang berlebihan terhadap Jokowi effect," ujarnya.
Menurut dia, rupiah akan terus melemah jika bentuk koalisi masih belum jelas. Pelemahan rupiah akan berada di kisaran Rp 11.500. "Hal yang mempengaruhi rupiah dalam jangka pendek adalah koalisi, sedangkan jangka panjangnya adalah defisit transaksi berjalan," ujarnya.
Transaksi berjalan yang membaik akan membuat rupiah menguat. "Kalau kondisi seperti sekarang bisa melemah lagi," ujarnya.