REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk melanjutkan pembahasan terkait Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Harga Rupiah atau yang lebih dikenal dengan redenominasi rupiah. Salah satu alasannya, menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya terhadap dolar AS masih fluktuatif.
Setelah rupiah terdepresiasi 26,42 persen pada 2013 silam, tim ekonom Bank Mandiri mencatat rupiah terapresiasi 6,2 persen pada 2014 dan berada pada level Rp 11.413 per dolar AS. Walaupun terapresiasi sepanjang 2014, Eko menyebut rupiah belum mencerminkan fundamental ekonomi negeri.
"Sehingga belum urgent untuk dilanjutkan (pembahasan redenominasi rupiah). Manfaatnya pun tidak akan sebesar diharapkan sehingga harusnya ini ditunda," kata Eko kepada ROL, Ahad (13/4).
Eko menjelaskan, pembahasan redenominasi pun belum tentu akan segera dilakukan setelah pemerintah maupun DPR hasil pemilihan umum 2014 terpilih. Pembahasan dapat dilakukan jika fundamental ekonomi telah kokoh.
"Pemerintah maupun DPR nantinya tetap harus melihat fundamental ekonomi. Apalagi ekonomi sekarang ditopang nontradable sector yang rendah dalam penyerapan tenaga kerja. Jika terus dilakukan, imbasnya adalah inflasi terselubung. Masyarakat kecil tentu akan kesulitan karena masih membutuhkan uang dalam pecahan kecil (receh)," papar Eko.