Oleh: Nashih Nashrullah
Berpuasa adalah kewajiban bagi umat Islam. Namun, ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang diberikan keringanan untuk tidak berpuasa.
Seperti bepergian atau sakit. Uzur syar’i lainnya seperti lanjut usia ataupun siklus bulanan bagi perempuan. Opsi yang pertama bagi mereka yang masih mampu berpuasa, ialah mengganti puasa yang ditinggalkan (qadha) di hari-hari biasa.
Pun demikian dengan meng-qadha puasa bagi perempuan yang uzur karena haid, nifas, atau pun menyusui, misalnya. Maka mereka berkewajiban menggantinya di hari lain.
“Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS al-Baqarah [2]: 184)
Syekh Muhammad Jawad Mughniyah dalam Fikih Lima Mazhab menjelaskan tata cara mengganti puasa yang terlewatkan. Ia menerangkan bahwa para ulama bersepakat bila seseorang meninggalkan puasanya, ia diwajibkan menggantinya pada tahun ini juga.
Artinya, selama kurun waktu Ramadhan lalu dengan Ramadhan berikutnya. Soal harinya, ia bebas memilihnya selama bukan hari-hari yang diharamkan berpuasa.
Syekh Jawad lalu memaparkan tentang beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan penggantian puasa berikut hukumnya. Kasus yang pertama ialah bagaimana hukum orang yang mampu mengganti puasa, tetapi ia menunda-nunda dan menyia-nyiakan kesempatan qadha tersebut?
Menurut dia, dalam kondisi seperti di atas, yang bersangkutan selain harus meng-qadha puasa yang ditinggalkannya, ia juga berkewajiban membayar kafarat berupa memberi makan satu orang miskin senilai satu mud (675 gram), setiap hari.
Pendapat ini disepakati oleh mayoritas mazhab fikih, kecuali Mazhab Hanafi. Menurut mazhab yang berafiliasi pada Imam Abu Hanifah itu, ia hanya diharuskan untuk mengganti puasa. Sedangkan pembayaran kafarat tidak diperlukan. (bersambung)