REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi umat Islam yang menetap di negara dengan penduduk mayoritas Muslim jelas atmosfer Ramadhan begitu terasa. Bagaimana dengan umat Islam yang berada di negara berpenduduk minoritas Muslim.
Di Perth, Australia misalnya, tak banyak komunitas Muslim yang menetap disana. Namun, Komunitas Muslim Perth coba menciptakan atmosfer tersebut.
Novijan Janis, salah satu warga Bogor yang selama dua tahun berdiam di Perth Australia mengaku jelang Ramadhan komunitas Muslim Perth mempersiapkan berbagai acara selama Ramadhan. Misalnya, mengagendakan dua ahli agama dari Indonesia untuk mengisi ceramah. Selain itu, pengajian Ramadhan diagendakan setiap hari. Tak ketinggalan agenda berbuka puasa.
"Agenda yang sama juga dilakukan komunitas Muslim asal Arab, India dan Pakistan. Makanan yang sering dibuatkan oleh mereka seperti nasi kebuli, briani hingga kebab," kata dia.
Terkadang, kata dia, sekitar 60-70 mahasiswa muslim yang terkadang ikut serta berbuka puasa di Mushola sederhana di universitasnya yang terbuat dari beberapa kontainer. Makanan yang disediakan saat berbuka puasa di mushola Universitas Edith Cowan merupakan donatur dari para komunitas muslim dari negara-negara Islam Arab.
Sayang, suasana itu kurang lengkap tanpa kehadiran kumandang Adzan. "Di wilayah Perth sudah terdapat banyak mushola maupun masjid, tetapi satu hal yang disayangkan, bahwa kumandang adzan hanya diperbolehkan terdengar di sekitar mushala maupun masjid. Sehingga, adzan tak terdengar hingga ke perumahan yang dia tinggali," kata dia.
“Hal itu tidak jadi masalah, karena kami memperhatikan waktu ibadah walaupun adzan tak terdengar hingga tempat tinggal kami. Begitu pula dengan waktu imsak, shubuh dan maghrib,” ujarnya.