Oleh: Saharuddin Daming
Lebih celaka lagi pada fenomena penyalahgunaan amanah publik dalam bentuk korupsi, mafia hukum, dan mafia pelayanan publik oleh oknum penyelenggara negara yang bercokol di lingkup legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Hampir sulit ditemukan logika dalam batas yang paling sederhana untuk menjustifikasi perilaku destruktif seperti ini terjadi pada orang yang mengaku menunaikan puasa.
Padahal, bukankah Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa betapa banyak orang yang memperoleh imbalan dari puasanya hanyalah sekadar lapar dan haus.
Sungguh hal yang sangat disesalkan karena meski puasa mengemban dwifungsi seperti itu, kualitas hasil yang dicapai dari sikap dan perilaku yang terbentuk justru memperlihatkan grafik dan angka yang berbanding tidak lurus.
Misalnya, kita lihat dalam kebijakan sejumlah pemerintah daerah yang menutup tempat hiburan malam (THM) selama bulan suci Ramadhan. Kita dapat memahami jika kebijakan seperti ini untuk mendorong agar Ramadhan mampu membentuk sikap dan perilaku warga masyarakat dapat mengaktifkan potensi sosial kontrolnya.
Ironisnya, karena warga di beberapa tempat, khususnya di kawasan mal, justru memperlihatkan fenomena terbalik dengan nilai yang ingin dicapai oleh kebijakan tersebut.
Sudah merupakan pemandangan umum terhadap warga yang diduga sebagian besar adalah Muslim yang sehari-hari mencari rezeki dengan aktivitas dagang di kawasan tersebut, dengan terang-terangan tanpa malu, sungkan, dan merasa berdosa makan, minum, dan merokok pada siang hari di bulan Ramadhan.
Mungkinkah terjadinya diskoneksi antara esensi puasa dan perilaku umat akibat epistemologi pemaham annya yang bias sejak semula, ataukah itu lebih karena dominannya kekuatan hedonisme dan materialisme?
*Mantan Komisioner Komnas HAM.