Oleh: Susiknan Azhari*
Pada 18-19 Februari 2013/8-9 Rabiul akhir 1434 yang lalu, penulis mengikuti “The Preeparation Meeting for International Crescent Observation Conference” di Istanbul, Turki.
Perbedaan dalam menentukan awal bulan Qamariah (Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah) tidak hanya terjadi di Indonesia. Umat Islam di berbagai belahan dunia juga mengalami hal yang sama.
Oleh karena itu, perlu dirumuskan konsep kalender Islam yang bisa diterima semua pihak. Inilah salah satu yang menjadi latar belakang diadakannya konferensi. Kegiatan ini dihadiri para menteri agama, ulama, dan ilmuwan.
Pertemuan ini sesungguhnya untuk menggali permasalahan-permasalahan yang dihadapi umat Islam dari berbagai negara seputar hisab dan rukyat untuk diagendakan dan ditindaklanjuti pada konferensi selanjutnya.
Dalam khazanah pemikiran kalender Islam, khususnya di Indonesia, dikenal istilah wujudul hilal dan visibilitas hilal (imkanur rukyat). Pada awal kehadirannya wujudul hilal merupakan sintesa kreatif atau “jalan tengah” antara teori ijtimak (qabla al-ghurub) dan teori visibilitas hilal atau jalan tengah antara hisab murni dan rukyat murni.
Karena itu, bagi teori wujudul hilal, metode yang dibangun dalam memulai tanggal satu bulan baru pada kalender Islam tidak semata-mata proses terjadinya konjungsi, tetapi juga mempertimbangkan posisi hilal saat matahari terbenam.
Dengan kata lain, awal bulan Qamariah dimulai bila telah terjadi konjungsi, konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam, dan matahari terbenam terlebih dahulu dibandingkan bulan.
Sementara itu, visibilitas hilal adalah bangunan teori yang bersumber dari pengalaman subjektif para pengamat. Sehingga, melahirkan beragam varian, misalnya, teori visibilitas hilal yang dikembangkan Mabims, Turki (1978), Mohammad Ilyas, Mohammad Syawkat Audah (Odeh), dan Hamid Mijwal Naimiy.
Teori ini menyatakan awal bulan Qamariah dimulai bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, seperti telah terjadi konjungsi, konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam, elongasi, umur bulan, mukuts, dan ketinggian hilal.
*Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta