Oleh: Alwi Shahab
Satu atau dua hari lagi, umat Islam akan menunaikan rukun Islam ketiga, berpuasa pada bulan suci Ramadhan.
Bagi warga Betawi, Ramadhan sangat mereka nantikan. Sehari menjelang Ramadhan terlihat kesibukan luar biasa di rumah-rumah. Para ibu berbelanja lebih banyak ketimbang hari biasa untuk menyiapkan makan sahur.
Pasar-pasar pun diserbu para pembeli. Ada suatu keistimewaan tempo doeloe yang kini hampir hilang dalam menyambut Ramadhan di Betawi. Sehari menjelang puasa, tepatnya pada sore hari, di tepi-tepi sungai terlihat para ibu dengan berkemben kain batik sedang keramas.
Kala itu, keramas tidak menggunakan sampo. Karena, barang yang sekarang ini populer itu belum muncul. Lalu, apa yang mereka gunakan? Merang, berupa kulit gabah yang dibakar kemudian dicampur dengan buah rekrek. Buah berbusa yang umumnya digunakan untuk menyepu perhiasan emas dan perak.
Di samping merang, juga digunakan lidah buaya. Mandi dan keramas memiliki motif untuk pembersihan diri menghadapi bulan suci. Begitu telitinya mereka keramas hingga digosok sampai ke ubun-ubun. Untuk mencegah kerontokan, digunakan minyak kemiri. Baunya harum dan dipakai pula oleh pria.
Selain keramas, ada lagi tradisi yang sampai kini masih dilakukan: ziarah kubur. Tapi, bagi warga Betawi, tidak dikenal istilah nyekar. Kala itu, hanya pria yang berziarah, sementara perempuan dilarang karena khawatir di antara mereka ada yang sedang haid. Para peziarah, seperti juga sekarang, banyak yang membawa surah Yasin atau tahlil. Mereka berziarah sambil membersihkan makam.
Ada lagi adat istiadat Ramadhan yang kudu ditiru. Kala itu, antartetangga saling memberikan penganan, terutama menjelang berbuka. Bagi pemuda yang sedang kasmaran, tidak boleh lupa mengantar penganan kepada calon mertua. Calon menantu yang berbuat demikian mendapat nilai lebih. Dia mendapat pujian sebagai calon mantu yang punya perhatian pada calon mertoku.
Sebaliknya calon mantu yang tidak bawa anteran, apalagi tidak nongol ke rumah calon mertua, menjelang Ramadhan urusannya bisa runyam. Tapi, zaman sudah berubah. Calon mertua lebih senang dikasih ‘mentahnya’ saja. Tentu saja, maksudnya doku atawa rupiah.
Sekarang tiap menjelang Ramadhan, ada imbauan agar masyarakat menghormati bulan puasa. Tidak demikian pada tempo doeloe. Dulu, hampir tidak kelihatan rumah makan yang buka. Prinsip orang Betawi menghormati tamu dengan memberikan minuman, tapi jangan harap itu berlaku pada Ramadhan. Tentu saja, ada pengecualian bagi anak-anak dan orang sakit. Hampir tidak ada yang berani secara mencolok merokok di tengah jalan.
Anak-anak sejak usia tujuh tahun sudah dididik untuk berpuasa. Meski ada yang setengah hari dan berbuka waktu Zhuhur, banyak juga yang berpuasa hingga Maghrib. Malamnya, mereka diajak orang tuanya shalat tarawih.
Pada hari-hari awal Ramadhan, masjid dan langgar dipenuhi jamaah. Banyak bapak yang menghabiskan waktunya hingga menjelang sahur di masjid. Mereka tekun tadarusan hingga selama sebulan bisa khatam Alquran selama tiga kali. Istilahnya, bekerja dan mencari uang selama sebelas bulan, satu bulan untuk beribadah.
Suasana tadarus yang dipimpin guru ngaji atau ustaz banyak diikuti masyarakat. Mereka diajarkan memelihara telinga, mata, dan bicara agar mendapatkan nilai puasa seperti dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Mereka menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela yang dilarang oleh agama. Selamat menunaikan ibadah puasa.