Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Sesuatu yang paling ditakuti ahli tarekat ialah perbuatan syirik di dalam ibadah. Bagi mereka, syirik dalam ibadah ialah adanya unsur riya di dalam setiap ibadah yang dilakukan.
Perwujudan riya di dalam diri mulai dari yang paling halus sampai terang-terangan.
Mungkin seseorang dapat mendeteksi syirik dalam bentuk kasar seperti menyembah berhala, tetapi sulit mendeteksi syirik dalam bentuk amat halus, yang digambarkan Rasulullah SAW dalam hadisnya: Dabibus syirku fi ummati akhfa min dabibun namlatus sauda’ ‘alas shakhratis shama’ fil lailatid dhuluma’i (Syirik itu merayap di dalam diri umatku lebih halus daripada rayapan semut hitam di atas batu hitam di tengah kegelapan malam).
Bagi ulama kebanyakan mengartikan syirik di sini dengan riya, meskipun menurut ulama ahli hakikat (ahlul haqiqah) syirik dimaknai dengan: Ru’yah al-gair ma’a wujudil haqqi ta’ala (menyaksikan sesuatu selain wujud Allah SWT).
Riya adalah senjata ampuh setan di dalam menghancurkan potensi dan kekuatan manusia dan syirik merupakan wujud kehancuran manusia di mata Tuhan. Karena itu, Ali bin Abi Thalib mengingatkan bahwa riya paling dekat dengan syirik (Inna adnar riya’ al-syirk).
Salah satu hikmah puasa bagi ahli tarekat ialah untuk menyempitkan peredaran setan di dalam diri manusia. Rasulullah pernah mengatakan: Innas syaithan yajri fi ibni Adam majrad dam. Fadhayyiqu majarihi bil ju’i (Sesungguhnya setan mengalir di dalam diri anak cucu Adam mengikuti aliran darah, persempitlah aliran setan itu dengan kelaparan).
Dalam hubungan inilah Rasulullah bersabda: Idza dakhala Ramadhan futihat abwabal jannah, wa gallaqat abwaban nar, wa shuffidatis syayathin, wa nada munadin ya bagiyal khair halumma, way a bagiyas syar iaqshar (Jika masuk bulan Ramadhan, maka terbukalah pintu-pintu surga, tertutuplah pintu-pintu neraka, setan-setan dibelenggu, lalu terdengarlah panggilan: Wahai pencari kebaikan kemarilah dan wahai pencari keburukan menyingkirlah).
Puasa di kalangan ahli tarekat kelihatan tidak terlalu menekankan pahala, tetapi begaimana dia bisa menjadi lebih bersih selanjutnya bisa dekat dan lebih dekat lagi dengan Tuhannya, sebagaimana dilukiskan di dalam Alquran: Wa huwa bil ufuqil a’la, tsumma dana fa tadalla, fakana qaba qausaini au adna. (Sedang dia berada di ufuk lebih yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka, jadilah dia dekat (sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). (QS an-Najm [53]:7-9).